-->

Hoax Bersimulasi, Muncul Hiperrealitas yang Real dan Imajiner jadi Satu

Semuanya bermain simulasi, teknologi dan media sosial (internet) bergabung menjadi simulacrum yang terus bersimulasi dengan kode dan citra yang dibangun, begitupun dengan hoax (berita tidak benar). Terus membangun opini dan bersimulasi, dan keberhasilannya dalam mempengaruhi opini publik.
Simulasi. Konten hoax adalah cara mereka (penyebar hoax) untuk dapat mempengaruhi opini publik. Informasi yang dipublikasikan menjadi perbincangan yang viral di media sosial. Mereka (para penyebar hoax) bermain dalam simulasi. Baca artikel tentang simulasi Berita Hoax dan Era Simulasi "yang Real telah Mati" agar dapat memahami artikel tentang Hiperrealitas.

Sherry Turkle (1997) melukiskan tentang realitas virtual sebagai berikut : “realitas virtual memberikan gambaran kehidupan yang lebih nyata dibandingkan dengan kehidupan nyata itu sendiri”. 

Semua yang nyata lenyap, karena adanya pengaruh simulasi dan muncul realitas yang mengatasi realitas real (hyperreality), realitas yang lebih cantik dari yang cantik, lebih benar dari yang benar.

Ketika konten hoax menjadi asumsi masyarakat, mulai dari isu kebangkitan PKI, isu penganiayaan ulama (Sembilan Isu Penganiayaan Ulama di Medsos, Tujuh Hoax), dan masih banyak berita hoax yang bertebaran di media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya. Mereka terus bermain simulasi.

Isu yang mereka (penyebar berita hoax) angkat akan menjadi asumsi, dan menjadi opini publik yang terus menjadi perbincangan, sehingga masyarakat tidak lagi dapat membedakan sesuatu hal yang benar terhadap berita yang di baca, lihat, dan dengar.

Mereka bermain simulasi terhadap konten hoax melalui media sosial, memang cukup berhasil untuk era digital saat ini. Tak sedikit yang termakan oleh isu hoax tersebut, dan menjadi ribut di media sosial. 

Berikut dampak akibat berita hoax : Hoax dan Ujaran Kebencian Jadi Bisnis, Ini 5 Dampak Paling Mengerikan [Preview ##eye##]


Mereka berhasil membuat simulasi yang menggiring opini publik terus dan menerus. Inilah kode yang mereka (penyebar hoax) bangun. Kode yang dibangun mematikan realitas yang nyata, dan munculnya realitas baru, yang tidak nyata. 

Dalam bukunya Symbolic Exchange and Death, Baudrillard mengemukakan konsep "kode" yang dilihatnya begitu penting dalam suasana modern akhir. Konsep kode ini muncul karena era komputer dan digitalisasi. 

Kata Baudrillard, kode cukup mendasar dalam berbagai ilmu seperti fisika, biologi dan ilmu pengetahuan alam lainnya (kode biner dalam teknologi komputer, kode DNA dalam biologi, kode digital pada televisi dan dunia rekaman serta kode dalam teknologi informasi). 

Ia memberikan kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek situasi, karena itu kode bisa mem-baypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan munculnya realitas yang disebut dengan hyperreality.

Hiperrealitas dapat menghapuskan perbedaan yang nyata (real) dengan yang imajiner, misalnya, pada konten berita hoax, setelah simulasi yang berhasil dimainkan oleh para pelaku, hingga masyarakat mengadopsi berita tersebut. Inilah contoh bagaimana yang nyata (real) tidak bisa dibedakan lagi ketika yang imajiner diterima oleh masyarakat.

Rabu (23/8). Kepolisian Indonesia mengungkapkan penangkapan tiga pimpinan sindikat Saracen yang diduga berada di balik sejumlah berita bohong dan provokatif bernuansa SARA di media sosial. Sumber : [Preview ##eye##]

Kasus diatas, bagaimana mereka (saracen) menyebarkan konten hoax untuk dapat mempengaruhi publik (opini publik). Berita bohong dan provokatif yang disebarkan (isu SARA), ''Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpandangan negatif terhadap kelompok masyarakat lain,'' demikian siaran pers Tindak Pidana Siber Kepolisian RI yang diterima BBC Indonesia.

Dari kasus ini, kita melihat, bahwa simulasi yang dimainkan, sangat terstruktur, dan mempunyai target yang jelas dalam penyebarannnya. Inilah yang dikatakan oleh (Jean Baudrillard, 1993), bahwa Hiperrealitas selalu siap untuk direproduksi.


Simulasi yang dilakukan oleh para penyebar hoax berhasil. Hoax dibuat sedemikian asli dan benar fakta serta datanya. Hal ini senada, seperti apa yang disampaikan oleh Rojek dan Turner, hiperrealitas yang dilakukan ahli NASA dalam menyempurnakan "gambar" yang diberikan atau yang diperoleh melalui satelit agar gambar lebih indah dan kelihatan spektatuler.

Era Simulasi dan Hiperrealitas menurut Baudrillard sebagai bagian dari rangkaian fase citraan, rangkaian itu sebagai berikut :
1. Citraan sebagai refleksi dasar dari realitas
2. Citraan menutupi dan mendistorsi dari realitas
3. Citraan menutupi ketiadaan atau lenyapnya dasar dari realitas
4. Citraan melahirkan ketidakterhubungan terhadap berbagai realitas apa pun, citraan bukanlah kemurnian simulacrum itu sendiri (Baudrillard, 1983)

Semuanya bermain simulasi, teknologi dan media sosial (internet) bergabung menjadi simulacrum yang terus bersimulasi dengan kode dan citra yang dibangun, begitupun dengan hoax (berita tidak benar). Terus membangun opini dan bersimulasi, dan keberhasilannya dalam mempengaruhi opini publik. 


Terbuktinya, karena ketidakmampuan dalam membedakan sesuatu hal yang mana asli, palsu, benar, tidak benar, mereka bermain kode. Sebut saja, meme yang mereka sebarkan, narasi teks yang mereka buat, serta video-video yang mereka sebarkan, semuanya itu simulasi yang bermain kode.


Inilah, hiperrealitas, ketika yang tidak benar melebur menjadi benar, yang tidak asli menjadi asli, karena ketidakmampuan dalam membedakan sebuah kode dan citra yang dibangun dengan apik melalui simulasi. 




*Silahkan untuk refrensi lebih lanjut dapat membeli buku yang berjudul Postmoderisme Teori dan Metode oleh Dr Akhyar Yusuf Lubis di toko buku terdekat.  *Beli online juga bisa. Sumber foto : internet

1 komentar

  1. wanita
    Keren bg.👍👍

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !