Tiga Cara Pemulihan Gambut oleh BRG
Semoga hadirnya Badan Restorasi Gambut (BRG) dapat menjegah dan mengatasi kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Riau.
Pojokan
– Kebakaran
hutan dan lahan di Provinsi Riau. Sudah berlangsung belasan tahun lalu. Apakah
hingga saat ini Provinsi Riau masih berselimut kabut asap ? Semoga hadirnya Badan
Restorasi Gambut (BRG) dapat menjegah dan mengatasi kebakaran lahan dan hutan
di Provinsi Riau.
Musim
kemarau. Bagi masyarakat yang tinggal didaerah gambut, seperti di Provinsi
Riau, akan sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, daerah ini sering terjadi
kebakaran lahan dan hutan.
Tidak
hanya sekali atau dua kali, melainkan sudah belasan tahun.Berdasarkan informasi
yang dikutip pada Jikalahari Magazine edisi September – Desember 2015,
menyebutkan bahwa kebakaran hutan atau kabut asap sudah terjadi selama 18 tahun
lalu.
Kabut
asap terparah sepanjang sejarah. Dikutip dari CNN Indonesia, menyebutkan Indeks
Standar Pencemaran Udara (ISPU) di ibu kota Riau, Pekanbaru, menyentuh angka
984. Angka itu bahkan di atas level tertinggi ISPU, yakni berbahaya, yang
berada di kisaran 300-500.
Akibat
kabut asap ini, perekonomian di Riau pun lumpuh, belajar-mengajar terganggu,
kesehatan masyarakat (pernafasan) juga mendapat imbas dari kabut asap yang
terjadi pada saat itu.
Imbasnya
sebanyak 78.933 orang terjangkiti penyakit terhitung dari awal Januari hingga
21 Oktober 2015, seperti dikutip pada website kabar24.bisnis.com.
“Sebanyak
66.234 jiwa diantaranya terkena penyakit indeks saluran pernafasan akut (ISPA),
1.076 jiwa terjangkit pneunomoa, 3.073 terjangkit asma, 3.693 jiwa terkena
penyakit mata dan 4.857 jiwa terkena penyakit kulit,” kata Andra Sjafril selaku
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Kamis, (22/10/2015).
Bahkan,
seorang bocah berumur 9 tahun bernama Ramadhani Lutfy Aerly warga Jalan
Pangeran Hidayat, meninggal dunia karena kabut asap. Dari hasil rontgen RS
Santa Maria, paru-paru siswa kelas III Madrasah Ibtidaiyah Negeri I Pekanbaru
itu dipenuhi asap.
Tidak
berhenti. Memang, kabut asap di Provinsi Riau ini. Sudah belasan tahun. Kabut
asap melanda Provinsi Riau. Terbaru, di tahun 2018 ini, berdasarkan berita
Liputan6.com yang terbit pada 19 Febuari 2018, menyebutkan ada 200 hektare di
Kepulauan Meranti hangus terbakar.
Sementara berita
yang diterbitkan oleh kompas.com, menginformasikan, bahwa sejak Januari-April
2018, kebakaran hutan dan lahan terus terjadi di Provinsi Riau.
Data dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Riau, menyebutkan sudah 1.647,36 hektar luas lahan yang
terbakar. Kebakaran terjadi di 11 daerah, yaitu 12 kabupaten, dan kota di
Provinsi Riau.
Rokan Hulu 1 ha,
Rokan Hilir 80.75 ha, Dumai 114.25 ha, Bengkalis 160.5 ha, Kepulauan Meranti 896.61 ha, Siak 131.5 ha, Pekanbaru 31 ha, Kampar
19.25 ha, Pelalawan 60 ha, Indragiri Hilir 121.5 ha, dan Indragiri Hulu 31 ha.
Tiada
hentinya, lahan dan hutan yang terbakar di Provinsi Riau, data diatas
menunjukkan, bahwa Riau masih mengalami kebakaran hutan dan lahan pada setiap
tahunnya. Namun, pada tahun ini bisa diatasi oleh pemerintah dengan baik.
Namun,
tetap. Kita harus waspada terhadap kabut asap, tidak menutup kemungkinan bisa
jadi kabut asap akan menutup dan melanda Provinsi Riau. Semoga saja tidak ya.
Kita doakan semoga para pejuang yang ikut memadamkan api dapat menjalankan
tugasnya dengan baik.
Kekhawatiran
terhadap kabut asap yang melanda belasan tahun silam, masih membuat masyarakat
Riau trauma. Apalagi pada saat musim kemarau yang dapat memicu terbakarnya
hutan dan lahan.
Apalagi
daerah rawan, seperti lahan gambut. Pasalnya lahan gambut mudah untuk terbakar.
Inilah bukti data yang menyebutkan, bahwa di Kepulauan Meranti ada sekitar 896.61
ha yang terbakar.
Memang
kita harus mengakui, bahwa untuk dapat mengelola lahan gambut dengan baik,
perlu adanya sinergitas seluruh elemen masyarakat. Selain itu, diperlukannya
strategi dalam penangan kelestarian lahan gambut di wilayah gambut tersebut.
Permasalahan
yang dijumpai yaitu kurangnya perhatian terhadap perencanaan dalam membuka
lahan, sehingga tidak merugikan orang lain. Tidak hanya itu, kurangnya
memperhatikan dampak lingkungan, dan kelestarian lingkungannya, seperti hal
kecil membuang puntung rokok sembarangan.
Tahun
2015 mungkin menjadi salah satu bencana kebakaran hutan dan lahan terbesar di
Indonesia setelah reformasi, seperti terjadi di Provinsi Riau. Ratusan hektar
lahan terbakar, pohon-pohon hangus, hewan-hewan mati, dan lahan menjadi
gersang.
Air
mata menitih, semua orang menangis. Ada yang sedih lahan garapannya terbakar,
ada yang sedih karena anaknya sakit, dan ada yang sedih kehilangan hijaunya
alam berganti hitam bekas terbakar.
Setelah
bencana tersebut terjadi tiada lagi kicauan burung, hewan-hewan bermigrasi ke
daerah lain, aktivitas masyarakat di daerah terdampak kebakaran dimulai lagi
dari nol.
Kejadian
tersebut tentu menjadi tamparan keras bagi kita semua. Apakah kita tidak bisa
menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan yang pada akhirnya memicu
terjadinya kebakaran ?
Bila
kita ingin mengulas mengenai kebakaran hutan dan lahan khususnya di daerah
gambut, dibutuhkan analisa yang melibatkan berbagai disiplin keilmuan.
Analisis
sosial dalam hal ini sangat diperlukan untuk melihat secara mendalam
faktor-faktor pendorong terjadinya kebakaran dari sisi masyarakatnya. Maka
analisis sosial tentang penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut salah satunya
dapat disebabkan oleh kemiskinan.
Mengapa
kemiskinan?
Beberapa
literatur tidak jarang disebutkan bahwa gambut adalah lahan marginal atau
terpinggirkan. Hal ini tidak terlepas dari tata pengelolaannya yang membutuhkan
perhatian khusus dan sering kali masyarakat kurang memahami hal itu.
Padahal,
lahan gambut sama seperti jenis lahan lainnya. Potensial untuk dikembangkan
menjadi daerah pertanian atau perkebunan. Baik tanaman tahunan, musiman, atau
jenis tanaman yang cepat tumbuh bisa ditanam di lahan gambut.
Tergantung
bagaimana cara yang dilakukan masyarakat untuk menanamnya agar dampak ekonomis
dari usaha tani tersebut dapat dirasakan.
Kebiasaan-kebiasaan
masyarakat terkadang menjadi persoalan tersendiri berkaitan dengan kebakaran
hutan dan lahan yang sering terjadi. Penebangan liar menjadi salah satu akar
masalahnya. Mengapa?
Ketika
hutan ditebang maka tidak ada lagi pohon yang dapat menyerap air. Imbasnya
mudah terjadi banjir dan tanah longsor. Lahan gambut terdegradasi yang secara
langsung menimbulkan penyusutan sumber daya ekonomi yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.
Produktivitas
masyarakat akan mengalami penurunan dan nantinya dapat menjadi salah satu
penyebab kemiskinan bertambah.
Kemiskinan
yang ada dapat menghalalkan segala cara untuk memperoleh sumber penghidupan.
Secara tidak langsung dapat pula mendorong masyarakat melakukan aktivitas
ekonomi tanpa perencanaan yang baik.
Akan
kembali lagi ke awal yaitu melakukan pembakaran sebagai upaya untuk
membersihkan lahan. Bukan tidak mungkin akan terulang kembali bencana kebakaran
seperti beberapa tahun yang lalu.
Ibarat
luka di wajah, rasa sakitnya akan hilang setelah diobati tetapi bekas luka akan
tetap ada. Begitu juga lahan gambut yang terbakar.
Meskipun
telah diusahakan agar pulih tetapi bekas-bekas kebakaran akan tetap ada
terutama yang berkaitan dengan kondisi gambut itu sendiri.
Pemerintah
republik Indonesia dalam hal ini telah berkomitmen melakukan upaya restorasi
dengan membentuk sebuah badan yang dinamai Badan Restorasi Gambut (BRG).
Hadirnya
Badan Restorasi Gambut menjadi penting terutama untuk upaya pemulihan kondisi
gambut yang sudah terbakar. Upaya restorasi gambut yang digaungkan oleh BRG
meliputi tiga poin besar 3R (Rewetting, Revegetasi, dan Revitalisasi).
Rewetting
artinya melakukan pembasahan, revegetasi penanaman kembali tumbuhan-tumbuhan
yang dapat menjaga lingkungan, dan revitalisasi adalah bagaimana perekonomian
masyarakat meningkat dari pengembangan komoditas lokal.
Meskipun
telah terbentuk BRG tetapi aktor utama dalam masalah kebakaran hutan dan lahan
yakni masyarakat itu sendiri. Apabila masyarakat tidak berusaha merubah
perilaku menjadi lebih baik dengan melakukan perencanaan yang matang untuk
aktivitas perekonomiannya maka mudah sekali bencana beberapa tahun lalu
terulang lagi.
Oleh
karena itu, kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan perlu
untuk dimiliki setiap individu. Hal yang perlu diingat adalah manfaatnya bukan
untuk diri kita pribadi saat ini tetapi dalam jangka panjang bermanfaat bagi
anak cucu.
Kalaulah
kita tidak dapat arif dan bijaksana dalam mengelola lingkungan apalagi lahan
gambut mungkin 15 atau 20 tahun lagi anak cucu kita tidak dapat melihat
asrinya pemandangan hutan dan kicauan burung-burung bernyanyi.
Tanamkanlah
pada diri kita masing-masing bahwa “alam juga punya perasaan. Dia dapat
tersenyum, menangis bahkan merajuk” seandainya kita tidak bisa menghargainya
pantas dan layak alam mengamuk.
Bila
alam sudah mengamuk, merugilah manusia. Mari kita berkomitmen menjaga
lingkungan dan menghindari kebakaran hutan serta lahan dengan menggunakan
kembali kearifan lokal yang terbentuk sejak nenek moyang kita masih hidup agar
terwujud kelestarian lingkungan yang baik.