-->

Persepsi Publik Terhadap Imigran Rohingya di Media Sosial

Bagaimana Persepsi Publik Terhadap Imigran Rohingya di Media Sosial ? Ini Ulasannya.
Persepsi Publik Terhadap Imigran Rohingya di Media Sosial

Etnis Rohingya adalah kelompok etnis Muslim yang tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar selama berabad-abad. 

Mereka adalah kaum minoritas, mengingat penduduk Myanmar mayoritas menganut agama Budha. Pemerintah Myanmar menjanjikan kewarganegaraan Rohingya dan penyandang disabilitas. 

Selama di Myanmar, warga Rohingya mengalami berbagai perlakuan buruk dari warga setempat, seperti pembunuhan, pengkhianatan, penyiksaan, dan ancaman lainnya.

Awal mula pengungsian rohingnya terdampar di berbagai negara, lalu beralih ke indonesia.

Hal inilah yang membuat mereka melarikan diri dari Myanmar dan mencari perlindungan di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. 

Sebelum genosida Rohingya pada tahun 2017, sekitar 1,4 juta Rohingya tinggal di Myanmar. 

Saat ini, terdapat lebih dari 1.200 pengungsi Rohingya yang telah memasuki perairan Aceh sejak November 2023. 

Meskipun Indonesia belum menjadi negara pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, Indonesia wajib melindungi pengungsi Rohingya yang berada di wilayahnya. 

Konvensi 1951 Tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967 sendiri merupakan perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi dan tanggung jawab negara tujuan kepada para pengungsi.

Pemberitaan Media Tentang Pengungsi Rohingya

Pemberitaan media tentang Pengungsi Rohingya dapat mempengaruhi persepsi dan opini publik tentang mereka. 

Sebuah studi analisis framing pemberitaan aksi bela Rohingya di beberapa media menunjukkan bahwa salah satu platform cenderung kurang simpatik terhadap Rohingya.

Sedangkan ada juga yang empatik dan positif terhadap pengungsi Rohingya. 

Di media sosial, narasi kebencian dan hoaks juga dapat mempengaruhi persepsi publik tentang Rohingya, seperti yang terlihat dalam beberapa hoaks dan disinformasi yang beredar. 

Persepsi Publik Tentang Pengungsi Rohingya

Para netizen di platform media sosial TikTok sering merasa kesal dari sikap para Rohinya yang tinggal di Indonesia, karena mereka dikenal arogan dan tidak bisa diatur. 

Warga lokal mendorong pemerintah untuk lebih peduli terhadap rakyat sendiri yang masih banyak dibanding membantu rakyat negara lain. 

Beberapa waktu yang lalu, sekelompok mahasiswa melakukan pengusiran terhadap Rohinya refugess karena sudah merasa kesal dan menyuarakan warga masyarakat lokal.

Salah satu alasan penolakan terhadap Rohinya adalah kesalahan dalam perilaku dan kebersihan mereka. 

Para pengungsi yang melarikan diri tidak menjaga kebersihan dan tidak mengindahkan syariat Islam dan adat di kalangan masyarakat. 

Selain itu, warga Aceh menolak kedatangan Rohinya karena mereka merasa kerepotan dengan para pengungsi yang tiba.

Dalam beberapa kasus, warga Aceh menolak kedatangan Rohinya yang tiba di wilayah mereka, seperti di Desa Pulo Pineung, Kecamatan Jangka Bireuen.

Di mana sebanyak 249 pengungsi Rohingya yang tiba di Bireuen, Aceh, menggunakan kapal kayu dan ditolak warga. 

Warga Aceh juga menolak kedatangan 20 kapal pengungsi Rohingya yang menuju ke Aceh. 

Pada awalnya, para pengungsi Rohingya menerima bantuan dari warga lokal, tetapi kemudian terdapat kesalahan dalam perilaku mereka yang menyebabkan penolakan. 

Misalnya, beberapa warga Aceh menolak kedatangan Rohinya karena mereka melarang mereka turun ke daratan.

Pandangan masyarakat Indonesia terhadap pengungsi Rohingya, terutama di media sosial, mencerminkan beragam respons dan persepsi. 

Sebagian masyarakat awalnya mampu mentoleransi kedatangan para pengungsi dan memberikan bantuan.

Namun seiring berjalannya waktu, muncul ketidaknyamanan dan ketidakpastian terkait dengan keberadaan mereka di Indonesia. 

Beberapa persepsi negatif juga muncul, seperti adanya kesengajaan dalam kedatangan para pengungsi, serta asumsi bahwa mereka dapat memicu konflik sosial dan menimbulkan kriminalitas. 

Selain itu, terdapat hoaks dan disinformasi yang menimbulkan citra negatif terhadap para pengungsi Rohingya, yang dapat memengaruhi pandangan masyarakat secara luas.

Terkait dengan tanggapan pemerintah, Indonesia dihadapkan pada kewajiban kemanusiaan dan hukum dalam menangani isu pengungsi Rohingya. 

Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, sebagai negara berdaulat, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk tidak menelantarkan para pengungsi. 

Namun, dalam menangani persoalan ini, diperlukan pendekatan yang cermat dan bijak, serta kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi internasional seperti UNHCR dan ASEAN.

 Aksi Bela Rohingya

Upaya luas dari masyarakat sipil, aktivis, dan organisasi non-pemerintah untuk meningkatkan kesadaran global terhadap krisis kemanusiaan yang dihadapi oleh etnis Rohingya di Myanmar. 

Melalui kampanye media sosial, protes, dan liputan berita, gerakan ini berhasil memperoleh perhatian dunia, membentuk opini publik yang mendukung keadilan dan hak asasi manusia. 

Meskipun berhasil meningkatkan solidaritas global, dampaknya pada persepsi publik bersifat dual, menciptakan polarisasi di antara mereka yang mendukung aksi tersebut.

Dan mereka yang mungkin mengambil sikap berbeda, terutama terkait pertimbangan politik dan nasionalisme.

Kesimpulan

Persepsi opini publik di media sosial tentang pengungsi Rohingya adalah beragam. 

Pemberitaan media dan narasi kebencian serta hoaks di media sosial dapat mempengaruhi persepsi dan opini publik tentang mereka. 

Terdapat penolakan dari sebagian masyarakat Indonesia terhadap pengungsi Rohingya, terutama di media sosial, yang mencerminkan beragam respons dan persepsi. 

Beberapa persepsi negatif juga muncul, seperti adanya kesengajaan dalam kedatangan para pengungsi, serta asumsi bahwa mereka dapat memicu konflik sosial dan menimbulkan kriminalitas. 

Meskipun Indonesia belum menjadi negara pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Pengungsi, Indonesia wajib melindungi pengungsi Rohingya yang berada di wilayahnya. 

Dalam menangani persoalan ini, diperlukan pendekatan yang cermat dan bijak, serta kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi internasional seperti UNHCR dan ASEAN.

Penulis : Diah Ayu Ika Romadhona, dan Celina Putri Kinanti - Jurusan Sosiologi, Universitas Muhammadiyah Malang

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !