Adjuster : Itu Fitnah Semata
Aku pun mulai ikutan panik suara ibu diseberang telepon tercekat sebentar antara ragu ingin memberi tahuku. Jantungku mulai berdebar-debar menanti kata-kata ibuku selanjutnya. Ibu pun berbicara semakin gugup.
Adjuster : Itu Fitnah
Semata
oleh Rita Riati Sahfitri (Sosiologi UR 2016)
FreshEntertain-Pada
penghujung bulan september , awal mula aku
memasuki jenjang pendidikan kuliah,
aku hanyalah seorang gadis desa
dan ayahku hanyalah seorang petani, namun disekolah aku cukup berprestasi sehingga diterima dikampus Negeri Fakultas Hukum. Aku
harus kuliah kekota karena jarak desaku jauh dari kota besar, dan aku pun terpaksa ngekos.
Hari
itu hari minggu, aku pun memanfaatkan waktu libur untuk tidur-tiduran di
kost-kost an ku, ah itu namanya tidak bermanfaat sebenarnya. Jam sudah
menunjukkan pukul 09.00, namun aku masih saja malas bergerak dari tempat tidur,
rasanya seperti ada unsur magnetic pada kasur yang menarik tubuhku agar tidak terpisahkan
darinya.
Beberapa
menit kemudian handphone ku berbunyi, dan ternyata ibuku menepon, suaranya
seperti sedang panik.
“Hallo
bu”
“Hallo
nak, kamu sedang apa. Maafkan ibu menelepon ini ada kabar buruk”
“Kabar
buruk? Ada apa bu?”
Aku pun mulai ikutan panik suara ibu
diseberang telepon tercekat sebentar antara ragu ingin memberi tahuku.
Jantungku mulai berdebar-debar menanti kata-kata ibuku selanjutnya. Ibu pun
berbicara semakin gugup.
“Ayahmu…”
“Iya
ada apa dengan ayah bu? Ayah baik-baik saja kan?”
“Ayahmu
sekarang dikantor polisi nak”
“lho
ayah kenapa bu? Kenapa bisa berurusan dengan polisi”
“Tadi
malam tetangga kita kehilangan sapinya, dan kebetulan malam itu ayahmu lewat
disana. Entah bagaimana ceritanya ibu pun tidak mengerti mereka langsung
menuding ayahmu sebagai pencurinya, padahal tidak mungkin ayahmu yang
melakukannya tentu saja ayahmu tidak mengakuinya”
Dibalik
jeruji besi itu aku pandangi wajah ayahku yang semakin kusam, tubuhnya pun
semakin kurus. Aku memutuskan tak ingin berlama-lama ditempat ini, tempat ini
asing bagiku sebelumnya dari kecil aku tidak pernah ketempat ini, ditempat para
tahanan yang terlibat kasus yang beragam mulai dari kriminal,mencuri bahkan
korupsi, dan salah satunya ayahku terjebak disini.
Aku
pun pulang setelah berpamitan dengan ayah. Sampai ditempat kostku haripun sudah
menunjukkan pukul 19.45, dan aku baru teringat ada tugas kuliah yang harus ku
selesaikan malam ini juga. Aku mengambil laptopku dari lemari dan mulai
mengetik, namun pikiranku entah kemana aku merasa tidak fokus sama sekali
mengerjakan tugas ini. Aku pun merutuk sendiri, kepala ku rasanya sudah berat
terlalu banyak yang mengganggu pikiranku. Hingga beberapa jam kemudian akhirnya
tugas ini bisa ku selesaikan.
Jam
sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, namun mataku masih susah untuk
dipejamkan. Aku berpikir jika ayahku terus mendekam dipenjara dalam selang
berapa waktu lagi lamanya, bagaimana
nasib ibuku? Bagaimana nasib kuliah ku siapakah yang akan membantu membiayai.
Pikiran it uterus berkecamuk dikepalaku.
Cobaan
apakah ini Ya Tuhan, aku yakin ayahku tidak mungkin melakukannya, aku kenal
betul siapa ayahku, ia sosok yang selalu mengajarkanku untuk berlaku jujur.
Sembari mencoba memejamkan mata aku terus memikirkan bagaimana nasib
keluargaku. Namun aku percaya Tuhan menguji hamba-Nya semata karena percaya
kami mampu menghadapi ujian-Nya.
Dikampus
aku pun sudah tak seperti biasanya, aku yang dulu dikenal ceria dan ramah kini
berubah menjadi murung, biasanya sepulang kuliah aku tidak langsung pulang ke
kost menyempatkan waktu untuk berkumpul dengan teman-temanku akan tetapi kali
ini aku memutuskan untuk pulang lebih awal.
Mereka
pun bertanya-tanya ada apa denganku, alasanku setiap kali mereka bertanya
alasanku selalu sama ingin menyelesaikan tugas atau sedang kurang enak badan.
Hari
ini tepatnya Rabu, 18 Oktober aku pun diwisuda dan resmi menyandang gelar
Sarjana Hukum dengan nilai yang memuaskan. Disaat semua mereka lengkap kedua
orang tua mendampingi disaat anaknya meraih kesuksesan, aku hanya ditemani oleh
seorang ibu.
Ibu
yang bertahun-tahun menanggung beban hidup dan beban diriku, ialah yang
berusaha terus melakukan yang terbaik sebisanya untuk menjadikan ku bisa meraih
gelar ini. Dan aku masih punya Ayah, ayah yang mendekam dibalik sel sana, aku
yakin ia selalu mendoakan ku agar anaknya sukses dan dengan mendapatklan gelar
ini aku bisa membantunya terbebas dari tuntutan hukum yang bukan ia pelakunya.
Tanpa
mereka aku bukanlah apa-apa. Tanpa sadar airmataku pun menetes ketika itu dan
aku memeluk ibuku, ia pun ikut menangis terharu.
Aku
dan ibu memulai hidup baru setelah aku wisuda, aku pun mencoba melamar kerja disebuah
pengadilan daerah. Setelah melalui beberapa proses mulai dari interview sampai
seterusnya aku pun akhirnya diterima.
Dengan
mengikuti beberapa pelatihan dan beberapa persidangan aku pun bealajar
bagaimana menangani beberapa kasus mulai dari hal yang paling kecil saja,
karena aku masih baru dan pengalaman yang tak seberapa.
Ini
memasuki tahun ke-lima ayahku dipenjara karena kasus yang ku anggap sepele itu,
hanya mencuri seekor SAPI dan karena bukti tidak memihak ke ayahku
bertahun-tahun ayahku harus mendekam dibalik sel itu. Aku rasa ini sangat tidak
adil diluar sana masih banyak kasus yang besar, bahkan ada yang mencuri uang
negara namun entah karena apa hukum kini yang menentukan adalah rupiah.
Sehingga kami yang hanya rakyat biasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Minggu
depan adalah sidang penentuan akhir ayahku, apakah hukumannya akan terus
diperpanjang atau ayahku dibebaskan. Keluarga kami tidak memiliki cukup uang
untuk membayar pengacara, dan inilah salah satu impianku.
Aku
ingin turun langsung menjadi pengacara ayahku. Ya, inilah keinginan ku sejak
dulu, menjadi pengacara dan membebaskan ayahku dari penjara.
Beberapa
orang sudah hadir didalam ruangan sidang tersebut, aku duduk disamping ayahku
dihadapan hakim dan kejaksaan lainnya. Hakim pun menjelaskan sepatah dua patah
alur dari kasus ayahku, serta keterangan beberapa saksi dan korban.
“…..demikian
lah data yang kami dapat berdasarkan keterangan beberapa saksi dan korban”
Setelah
hakim menjelaskan dengan detail keseluruhannya aku pun diberi kesempatan untuk
angkat berbicara dan menyampaikan pembelaan.
“Bapak
hakim yang terhormat, terimakasih telah memberikan saya kesempatan. Sebelumnya
disini saya berbicara bukan sebagai pengacara atau pembela, saya hanya ingin
meyampaikan bahwa seorang lelaki yang duduk ini, lelaki yang berwajah lugu ini
adalah ayahku, ia hanyalah seorang petani, ia yang
senantiasa mengajarkan keluarganya untuk berlaku jujur lelaki yang setia kepada
keluarganya, lelaki yang menghargai hak orang lain.
Kehidupan
kami memang tidak seberapa, tapi ia Ayahku adalah seorang yang dibesarkan dan
dididik dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai dan norma agama, ia menikahi
seorang wanita yang juga dari keluarga sederhana.
Ia
memiliki seorang putri yaitu yang saat ini berdiri di hadapan anda. Saya hanya
ingin sampaikan, sudah bertahun-tahun ia mendekam dipenjara hanya karena sebuah
kasus yaitu dituduh mencuri seekor sapi milik tetangganya.
Terkadang
apa yang terlihat oleh mata manusia tidak sesuai dengan fakta nyata, manusia
cenderung memiliki bermacam-macam prasangka, juga memiliki perasaan curiga.
Hukuman yang diberatkan kepada ayahku kalaupun ia memang pelakunya rasaku sudah
tidak wajar.
Hanya
karena seekor sapi bertahun-tahun dipenjara, sementara diluar sana kita lihat
banyak sekali para pemakan uang negara dibebaskan begitu saja, saya rasa hukum
dinegara ini sungguh lucu, diamana hukum bisa dibeli dengan rupiah, yang banyak
uang dan tinggi tahta bebas tertawa bahagia,sementara si jelata hidup penuh
derita dan merana.
Saya
menyatakan bahwa lelaki ini, ayah saya ini tidaklah bersalah karena tidak ada
bukti yang nyata, dan hanya karena berasas kecurigaan, bisa saja sapi itu
terbuka ikatan talinya lalu lari bukan ?. Seperti yang saya katakan sebelumnya
manusia memiliki beragam prasangka, kalau prasangka tidak bisa dibuktikan
dengan nyata maka jatuhnya hanya menjadi fitnah semata. Saya harap bapak hakim
bisa memberikan keputusan dengan seadil-adilnya, terima kasih”
Suasana
ruang tersebut hening seketika, semua pengunjung sidang tertegun diam seakan
terhipnotis oleh perkataanku. Hakim pun terdiam seakan bisu. Selang beberapa
waktu, sembari tangan mengangkat palu terdengar hakim menyatakan bahwa ayahku
dibebaskan.
Palu
diketukan sebanyak tiga kali, diiringi dengan tepuk tangan para pengunjung aku
pun memeluk ayahku dan ibuku mendatangi dari belakang dan kami pun berpelukan,
terima kasih Tuhan telah menjawab doa-doa ku dan mimpi terbesar ku berhasil ku
gapai.