Teori Poskolonial Pemikiran Edward Said : Politik, Budaya, Resistensi
Teori Poskolonial Pemikiran Edward Said : Politik, Budaya, Resistensi.
Sosiologi Info – Kali ini kita akan mengulik lebih jauh mengenai pemikiran tokoh di era poskolonial yaitu Edward Said.
Pemikiran Edward Said menekankan bagaimana pandangan masyarakat Barat (oksidental).
Cenderung untuk memberikan persepsi negatif tentang masyarakat non-Barat (oriental). Ingin tau lebih jauh mengenai pemikiran tokoh poskolonial berikut?
Simak terus artikel dibawah ini. Teori Poskolonial Pemikiran Edward Said : Politik, Budaya, Resistensi. Yuk baca.
Sekilas Post-kolonialisme
Sobat pernah mendengar kata atau istilah untuk Post-Kolonialisme ? Nah “post-kolonialisme” berasal dari dua suku kata yaitu “post” yang berarti sesudah dan “kolonialisme” yang berarti penjajahan.
Post-kolonialisme mencoba untuk mengkritik politik supremasi Barat yang bersifat oksidental dan paradigma sosial yang berlaku sejak masa penjajahan.
Yang sebenarnya tidak memperhatikan posisi kebudayaan non-Barat atau budaya Timur.
Sebagai contoh, masyarakat Indonesia yang memandang budaya barat lebih superior ketimbang budaya lokal.
Contohnya di bidang kuliner, masyarakat Indonesia memandang makanan Barat memiliki citarasa yang inferior ketimbang kuliner di Indonesia.
Menurut Antonio Gramsci bahwa secara halus, kelompok elit dapat mengendalikan pikiran/mindset dari kelompok subordinat yang disebut sebagai “hegemoni”.
Demikian juga dengan masyarakat Barat dapat mengendalikan cara berpikir masyarakat non-Barat.
Bahkan membuat mereka secara terus-menerus merasa diri inferior dan bergantung pada budaya Barat sebagai kelompok imperialis yang dianggapnya lebih superior.
Sependapat dengan Foucault, Edward Said memandang bahwa hal tersebut berjalan dengan cara yang lebih kompleks, tidak hanya top-down (hegemoni).
Tetapi juga bersifat bottom-up (diskursus), bahkan juga di-implant ke dalam kesdaran masyarakat dari budaya lain dan menjadi cara berpikir yang terus bertahan.
Bukan hanya masyarakat barat yang menjajah pola berpikir bangsa yang dijajahnya.
Tetapi juga masyarakat oriental sendiri juga ikut memberikan diri untuk dijajah dan dikuasai secara ideologis seiring berjalannya waktu (Pappe, 2010).
Pemikiran post-kolonial penting untuk dipelajari karena menceritakan asal-usul mengenai terbentuknya prasangka terhadap suatu kelompok.
Yang dilatarbelakangi oleh rasa superioritas tertentu dan berlanjut ke dalam sebuah proses sejarah yang bisa dibilang lebih lama.
Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, kekuatan modernisme dan ekonomi-militer di Eropa Barat.
Berjalan dengan signifikan seiring dengan perkembangan kolonialisme (penjajahan) dan rasisme.
Ketika kebudayaan Barat sudah menganggap dirinya sebagai “pusat” perkembangan peradaban manusia. Proses kolonialisme pun terjadi secara ideologis.
Masyarakat Barat yang terkenal maju akan peradabannya juga terkenal dengan nuansa ingroup superiority.
Dan berupaya untuk membangun totalisme kekuasaan terhadap eksistensi kelompok outgroup.
Yang dimaksud dengan totalisme disini adalah agenda sosio-politik yang mencoba untuk “menjaring”, mengklasifikasi.
Dan menguasai kehadiran kelompok yang “belum terjangkau” atau belum dikenal oleh kelompok lain.
Pada walnya, proses ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan di luar teritori geopolitis dan budaya barat.
Namun justru berakhir dengan proses objektivikasi terhadap kelompok non-Barat.
Inilah sebabnya banyak sekali ragam diskursus yang berkembang dan menyatakan bahwa kolonialisme merupakan sarana bagi negara Barat.
Untuk membantu negara yang terjajah demi menuju masyarakat yang lebih makmur dan beradab.
Dengan menawarkan diri sebagai pemasok sumber daya, negara-negara Barat yang melakukan kolonialisme berhasil menanamkan rasa inferior.
Dalam kesadaran kolektif masyarakat lokal serta menyebabkan mereka menjadi semakin bergantung dan tidak mampu untuk melakukan resistensi.
Dalam hal ini, supremasi peradaban Barat telah melakukan kekerasan simbolik atau penjajahan ideologis terhadap peradaban non-Barat.
Pemikiran Edward W Said : Politik, Budaya, dan Resistensi
Dalam karyanya yang berjudul Orientalism, Edward Said menuturkan ada beberapa metode yang dilakukan oleh negara Barat (oksidental).
Dalam menanamkan sebuah kesadaran inferioritas pada kelompok non-Barat (oriental).
Meminjam pemikiran Michel Foucault, Edward Said menjelaskan bahwa konsepsi mengenai masyarakat Barat yang maju dan berkelas.
Dan masyarakat timur yang mengalami ketertinggalan dan terbelakang sebenarnya adalah hasil dari proses perkembangan ideologi dalam sejarah.
Jika kita ingat kembali mengenai gagasan Foucault mengenai pengetahuan dan genealogi kekuasaan.
Hal itu juga dibentuk oleh adanya kekuasaan secara ideologis ketika suatu kelompok colonial hadir di tengah masyarakat lokal.
Mereka mulai menanamkan sebuah ide bahwa merekalah kelompok yang maju dan mampu berkontribusi.
Untuk masyarakat dan kelompok colonial hadir di tengah masyarakat untuk memandu proses pembangunan masyarakat setempat agar menjadi rasional, progresif dan modern (Diannita, 2021).
Pada kenyataannya, belum tentu demikian, bisa saja masyarakat lokal terhegomoni oleh ideologi semacam itu.
Dengan adanya perkembangan tekonologi dan cara berpikir kelompok colonial yang sudah rasional, hal ini menyebabkan munculnya rasa inferioritas.
Dari sinilah masyarakat barat datang menjajah masyarakat oriental secara perlahan namun pasti. Hal yang lebih menarik adalah masyarakat oriental justru tidak melawan secara signifikan.
Tetapi justru menyambut kedatangan masyarakat Barat secara terbuka terhadap ragam bentuk kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok Barat.
Gagasan arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan yang dicetuskan oleh Michel Foucault.
Sangat relevan untuk menganalisis bagaimana segregasi sosial berdasarkan Suku, Agama, dan Ras (SARA) yang sebenarnya berakar dari masa kolonialisme.
Budaya merupakan diskursus atau ide-ide, proses kategori sosial yang bekerja untuk mengorganisasi ekosistem sosial.
Dari kehidupan bermasyarakat, dan mempertahankan status quo terhadap kelompok colonial Belanda.
Kehadiran kelompok oriental hanyalah sebagai sumber daya yang kemudian diatur, di-manage, dan diarahkan menurut intensi yang dimiliki oleh kelompok oksidental (Barat).
Selama berabad-abad, tipologi atau proses kategori sosial berdasarkan ras telah lama tertanam dalam kesadaran masyarakat nusantara.
Bahkan sampai masuk ke dalam sistem ekonomi, politik dan sosial. Budaya juga dapat menadi sebuah ide yang dapat direproduksi melalui sarana akademis.
Menurut perspektif Durkheimian, bisa saja institusi sosial berperan dalam melestarikan dan meneruskan nilai-nilai sosial.
Akan tetapi, menurut Edward Said bahwa nilai-nilai yang diturunkan melalui institusi pendidikan, yang terkesan “netral dan baik”, justru memuat agenda politik dari kelompok penguasa.
Ketiga aspek diatas berjalan secra bersamaan. Kelompok kolonial Barat (oksidental) telah berhasil menjajah warga lokal (oriental) selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad.
Barangkali, hal ini menimbulkan pertanyaan dalam diri kita bahwa kelompok Barat telah membuat ketergantungan di dalam diri kelompok oriental.
Tanpa adanya sikap kritis dari masyarakat lokal terhadap agenda sosio-politik yang dilakukan oleh pihak kolonial.
Namun sebenarnya kaum intelektual Indonesia sangat sulit untuk mengembangkan pemahaman nasionalisme sebagau bentuk resistensi untuk mencapai garis kemerdekaan.
Resistensi merupakan bentuk counter-discourse sebenarnya berasal dari nilai humanitarian yang menjunjung tinggi makna kemanusiaan.
Ketika kelompok superior berupaya untuk mendominasi maka sikap resisten yang tepat bukanlah untuk mengeluarkan sikap “anti-Barat”.
Melainkan untuk menyeruarakan semangat kemanusiaan yang menolak proses penjajahan dan kembali untuk membangun komunitas bersama.
Lalu apa yang membedakan sikap resisten dengan sikap reaksioner? Sikap reaksioner merupakan sikap atau bentuk protes terhadap dominasi kelompok superior.
Kemudian membentuk sikap dan tindakan kekerasan destruktif. Kelompok masyarakat Timur bisa saja menyerang balik dengan mendeskriminasikan kelompok Barat.
Walaupun sikap reaksioner ini terkesan sedang membela hak dan martabat kelompok inferior, itu tidak lain merupakan merupakan bentuk dari dominasi baru.
Jika sikap reaksioner tidak akan mengubah banyak hal maka dibutuhkan sikap yang lebih emansipatoris.
Ketika berpihak kepada kelompok inferior untuk menyerang kelompok dominan, kita sudah berpartisipasi pada tindakan kekerasan.
Seharusnya, tindakan kekerasan tidak dibalas dengan kekerasan, melainkan diresistensi dengan cara lain.
Maka dengan begitu, sebuah masyarakat dapat mengembalikan otonomi untuk hidup secara independent.
Jika masih dibayang-bayangi oleh budaya luar dan rasa inferioritas dari proses kolonialisme, sebenarnya kita belum memeluk nilai kemanusiaan secara utuh.
Kita masih memeluk identitas sebagai bangsa-negara yang hidup pada trauma kolonialisme.
Yaitu dijajah oleh rasa inferioritas yang diproduksi oleh diri sendiri dan menyalahkan pihak lain atas ketidakmampuan yang ada.
Demikianlah pembahasan artikel diatas tentang topik Teori Poskolonial Pemikiran Edward Said : Politik, Budaya, Resistensi.
Kontributor Artikel : Hussein Ruslan Rafsanjani
Sumber referensi Sosiologi.Info:
Diannita, A. (2021). Analisa Teori Post Kolonialisme Dalam Perspektif AlternatifStudi Hubungan Internasional. Journal IKLILA: Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 4(1), 79–90.
Pappe, I. (2010). Diaspora as catastrophe, diaspora as a mission and the post-colonial philosophy of edward said. Policy Futures in Education, 8(3–4), 457–466. https://doi.org/10.2304/pfie.2010.8.3.457