-->

Berita Hoax dan Era Simulasi "yang Real telah Mati"

Baudrillard, mengemukakan, bahwa kita sekarang hidup dalam satu era yang disebut era Simulasi, atau zaman dimana keaslian dan dunia kultural yang cepat lenyap. Simulasi adalah penghilangan antara yang real dengan yang imajiner, yang nyata dengan yang palsu.
“All that is real become simulation.”
“Saat ini simulasi adalah realitas secara menyeluruh : politik, sosial, sejarah dan ekonomi yang mulai sekarang menggabungkan dimensi simulasi-hiperrealisme,
Jean Baudrillard (1983a : 147).

Isu politik dan sara. Laris manis menjadi asumsi dikalangan masyarakat. Sasarannya adalah mereka yang menggunakan media sosial, seperti facebook, instagram, dan media sosial lainnya.

Berita palsu atau tidak benar yang biasa disebut hoax. Terus mengerogoti sendi-sendi sosial masyarakat. Tentunya, ini menjadi ancaman yang serius, tat kala kita (masyarakat) tidak lagi dapat membedakan berita yang asli, palsu, benar atau tidak benar, semuanya menjadi satu dan diluar bawah sadar kita sebagai manusia.

Mirisnya lagi, konten hoax ini digunakan untuk kepentingan politik, yang mengangkat isu politik dan sara sebagai konten penyebaran hoax.

Menurut riset yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), isu sensitif soal sosial, politik, lalu suku, agama, ras, dan antar golongan, dimanfaatkan oleh para penyebar hoax, tujuan untuk mempengaruhi opini publik.

Riset yang dilakukan Mastel, sebanyak 91,8 persen responden mengaku paling sering menerima konten hoax tentang sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan. Kedua, berita/konten isu SARA yang diterima sebanyak 88,6 persen.

Dengan rincian konten hoax yang paling banyak diterima responden adalah teks (62,1 persen), dalam bentuk gambar (37,5 persen), dan video (0,4 persen).

Ketua Umum Mastel, Kristiono, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (13/2), mengatakan, “Masyarakat menyukai hal-hal heboh. Ini berbahaya, karena bisa jadi perilaku. Mereka bisa memproduksi hoax agar bisa menimbulkan kehebohan”.

Kristiono, memaparkan, bahwa sudah banyak penerima hoax yang tidak percaya begitu saja dan mengecek kebenarannya terlebih dahulu, namun sebagian di antaranya masih mengalami kesulitan dalam mencari referensi.

Riset yang dilakukan oleh Mastel, memaparkan, responden riset ini juga menyatakan mereka paling sering mendapatkan konten hoax dari media sosial, sebanyak 92,4 responden. Media sosial tersebut adalah Facebook, Twitter, Instagram, dan Path.

Angka ini cukup jauh jika dibandingkan dengan situs website (34,9 persen), televisi (8,7 persen), media cetak (5 persen), email (3,1 persen), dan radio (1,2 persen).

Survei yang dilakukan Mastel didapat dari responden dengan rentang usia 25-40 tahun (47,8 persen), di atas 40 tahun (25,7 persen), 20-24 tahun (18,4 persen), 16-19 tahun (7,7 persen), dan di bawah 15 tahun (0,4 persen). Sumber :  [Preview ##eye##]

Ingat. Paling sering mendapatkan konten hoax dari media sosial, sebanyak 92,4 responden. Media sosial tersebut adalah Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Media sosial menjadi subur dalam hal pemberitaan palsu, atau hoax.

Berita hoax. Tentang muncul isu gerakan rush money atau menarik uang dari Bank secara bersamaan pada tanggal 25 November. Berita tersebut langsung dibantah oleh Kapolri Irjen Tito Karnavian. “Saya menyatakan itu adalah hoax karena sumbernya tidak jelas, faktanya juga tidak jelas.” Sumber : [Preview ##eye##]

Contoh diatas adalah salah satu pemberitaan bohong yang dapat menggangu stabilitas sosial, politik, dan bahkan ekonomi Indonesia.

Simulasi. Konten hoax adalah cara mereka (penyebar) untuk dapat mempengaruhi opini publik yang terus digiring melalui pemberitaan yang tidak benar. Mereka (para penyebar hoax) bermain dalam simulasi.

Apa itu Simulasi ? Berikut penjelasannya.

Simulacra adalah perpaduan antara nilai, fakta, tanda, citra, dan kode. Pada realitas ini kita tidak lagi menemukan refrensi atau representasi kecuali simulacra itu sendiri. Inilah dunia simulasi, dunia yang dibentuk oleh berbagai hubungan tanda dan kode secara acak tanpa acuan (refrensi) yang jelas. Hubungan ini melibatkan  tanda real (fakta) yang terbentuk melalui proses reproduksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta dari proses reproduksi.

Dalam kebudayaan simulasi, realitas factual dan citraan berjalin dan berbaur atau menumpuk. Dunia dan wacana simulasi, batas antara yang real dengan yang imajiner atau palsu, tiruan tidak hanya berbaur, akan tetapi simulasi atau citraan lebih unggul dan lebih dipercaya dari fakta.

Jean Baudrillard dalam Buku The Ecstacy of Communication (1987) mengemukakan tentang masyarakat informasi, dimana terjadi transparansi makna dan informasi. Terjadi pula demokratisasi dan penyebaran wacana secara global, setiap fenomena sosial-budaya yang ditampilkan dilayar kaca TV atau internet, ia akan menjadi bahan percakapan global.

Setiap informasi yang didapat oleh masyarakat baik di TV atau di internet termasuk (media sosial : Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya), akan mempengaruhi setiap wacana dan interaksi komunikasi masyarakat.

Mereka sudah terpengaruhi terhadap apa yang didengar, dilihat, dan dibaca secara terus menerus oleh masyarakat. Termasuklah, konten hoax yang bermain simulasi untuk dapat mempengaruhi para pengguna media sosial.

Baudrillard, mengemukakan, bahwa kita sekarang hidup dalam satu era yang disebut era Simulasi, atau zaman dimana keaslian dan dunia kultural yang cepat lenyap. Simulasi adalah penghilangan antara yang real dengan yang imajiner, yang nyata dengan yang palsu.

Istilah Simulacra (simulacrum) dan simulasi (simulation), memiliki perbedaan yang tipis. The Oxford English Dictionary memberikan pengertian simulacra dengan aksi atau tindakan menirukan dengan maksud menipu.

Sementara, Simulacra didefinisikan sebagai sebuah citra material, dibuat sebagai sebuah representasi dari beberapa dewa, orang, atau sesuatu. Sesuatu yang hanya memiliki bentuk atau penampilan tertentu, tanpa memiliki substansi, hanya citra (gambaran) yang kurang menunjukkan sesuatu yang real.

Konten hoax, bermain simulacra, terus dan terus-menerus mempengaruhi penyebaran wacana yang tidak bisa dibedakan lagi oleh masyarakat, antara mana yang asli dan palsu terhadap pemberitaan tersebut.

Berujunglah pada menerima kebenaran dari sebuah berita hoax tersebut, sebagai asumsi publik yang benar menurut mereka sendiri. Ini terjadi karena refrensi atau sumber yang tidak jelas dan membingungkan masyarakat dalam menilai sebuah refrensi yang benar.

Sukarnya kita, dalam membedakan sebuah berita yang benar berdasarkan refrensi yang benar, inilah yang dikatakan oleh Baudrillard “yang nyata telah mati” dan digantikan oleh “simulasi”.

Pada era sekarang, konsep simulacra menjadi konsep yang penting sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi dan ekonomi, terutama dengan berkembangnya reproduksi mekanis, dan kemudia reproduksi elektronik dunia virtual.

Terakhir, sebagaimana yang dikemukkan Guy Debord, masyarakat kita adalah masyarakat konsumsi dan masyarakat penonton, yang sebagian besar waktunya habis di depan TV dan internet. Inilah era digital, pesatnya perkembangan teknologi dan informasi (media), hubungan antara manusia diperantarai secara terus menerus oleh realitas citraan.

Dengan demikian, yang real itu dibuat menjadi tidak nyata oleh hyperreal, dan simulasi menjadi lebih benar dari kebenaran. Ketika tidak ada lagi kebenaran atau realitas, maka tanda dan kode tidak lagi melambangkan sesuatu, simulasi dengan demikian membunuh makna secara absolut (Gane, 1993).

Itulah yang terjadi di Indonesia saat ini, konten hoax menjadi asumsi publik, dengan simulasi yang dilakukan oleh para penyebar hoax. Simulasi ini mempengaruhi masyarakat, struktur sosial yang adem ayem (tidak ada gejolak), tiba-tiba muncul gejolak dan membuat perpecahan antar masyarakat. Iya, karena isu politik dan sara yang dimainkan oleh para penyebar hoax, bermainnya simulasi, yang seakan membuat sesuatu yang tidak benar menjadi benar, yang palsu menjadi asli, semua yang imajiner menjadi nyata.

Oleh karena itu, mari sama-sama dalam mengatasi berita hoax atau berita bohong secara bijak dan melihat sebuah fenomena tidak sepihak saja membenarkan yang tidak benar dan membuat gaduh di lingkungan masyarakat, jangan sampai hal tersebut terjadi. Lihatlah refrensi yang menjadi sumber berita tersebut, lihat secara mendalam, dan terus gali apakah berita tersebut benar adanya.

Jean Baudrillard, “yang real telah mati” dan digantikan oleh “simulasi”.

Sumber Buku : Postmoderisme (Teori dan Metode) oleh Dr Akhyar Yusuf Lubis
*untuk refrensi buku silahkan kawan-kawan beli di Zanafa (bagi yang tinggal di Pekanbaru) bukunya murah kok.
*untuk yang di luar Pekanbaru mungkin bisa membelinya di toko buku terdekat atau beli online

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !