Habitus Politisi Muda dalam Mendulang Suara Pemilu
Mendulang suara rakyat dengan Habitus. Politisi Muda dalam Pemilu Legislatif 2024.
Sosiologi Info -
Politisi muda sudah siap berkompetisi memenangkan hati rakyat pada Pemilihan
Umum (Pemilu) Legislatif tahun 2019, baik di tingkat DPRD Kota, Kabupaten,
Provinsi, dan DPR RI tingkat Nasional. Persiapan untuk Pemilu 2019 sudah lewat.
Nah, buat kamu politisi muda persiapkan dengan matang Pemilu Legislatif di
tahun 2024 !
Politisi muda. Bersyukur hari ini kita melihat ketertarikan anak muda
dalam arena politik semakin meningkat. Terlihat, dari partisipasi anak muda
dalam perhelatan demokrasi di Indonesia, seperti pemilihan legislatif anggota
DPRD tingkat kota, kabupaten, provinsi atau bahkan tingkat DPR RI pada tahun
2019.
Berdasarkan berita
yang dirilis oleh detik.com pada Jumat 14 September 2018, Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) merilis hasil kajian anatomi daftar caleg
sementara (DCS) Pemilu Legislatif 2019. Hasilnya, terdapat 21 persen caleg DPR
berusia milenial.
"Mayoritas
caleg berusia produktif, yaitu 36-59 tahun atau 68 persen, ditambah kelompok
usia milenial berusia 21-35 tahun sebanyak 21 persen," kata peneliti
Formappi Lucius Karus di kantornya, Matraman, Jakarta Timur.
Hasil riset
Formappi dari data DCS KPU, sebanyak 21 persen atau 930 caleg berusia 21-35
tahun, sebanyak 68 persen atau 3.013 caleg berusia 36-59 tahun, sedangkan caleg
berusia 60 tahun ke atas jumlahnya sedikit, yaitu 11 persen atau 499 caleg.
Selanjutnya, untuk
partai politik (parpol) yang paling banyak mengusung caleg milenial adalah PSI
sebanyak 240 caleg, PPP sebanyak 142 caleg, dan Gerindra 98 caleg. Parpol yang
paling banyak caleg berusia produktif adalah PKS 392 caleg, PAN 383 caleg, dan
Golkar 367 caleg.
(Sumber :[Preview ##eye##])
Sementara, berita
yang diterbitkan oleh Kumparan.com pada 26 Desember 2018, dengan judul Caleg
Termuda dan Tertua di Pileg 2019, dari 245.106 caleg DPR RI, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota, nama Azmi Zaidan Nashrullah mencuat sebagai caleg termuda di
Pileg 2019. Pria kelahiran Bandung, 21 September 1997, itu merupakan caleg
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Nama Azmi sebagai
caleg termuda muncul dari hasil penelusuran Tim Data kumparan. Data
tersebut berasal dari laman kpu.go.id
yang diakses pada 17 Desember 2018. Dalam lembar motivasi yang ditulisnya, Azmi
mengaku maju lantaran dorongan dari kedua orang tua.
Namun, Azmi bukan
satu-satunya caleg termuda yang berlaga di Pileg 2019. Ada tiga caleg lainnya
yang juga berusia 21 tahun dan memiliki tanggal lahir yang sama dengan Azmi.
Tiga caleg tersebut adalah Lusiana Duval, Nurinzana DG Tadaeng, dan Santi
Mulyana.
Berbeda dengan
Azmi, Lusiana berasal dari Perindo. Perempuan kelahiran Sukabanjar itu maju
untuk dapat duduk di kursi DPRD Kabupaten Lampung Selatan.
Dalam riwayat
hidupnya, Lusiana tak menuliskan motivasi di balik pencalonan dirinya sebagai
caleg. Ia juga tak menulis target yang akan dikejarnya jika kelak terpilih.
Hingga saat ini, Lusiana tercatat bekerja sebagai karyawan swasta dan sudah
menikah.
Sementara itu,
Nurinzana yang juga memiliki tanggal lahir serupa merupakan Caleg dari PPP. Dia
mendaftarkan diri untuk memperebutkan kursi di DPRD Kabupaten Gowa, Sulsel.
Serupa dengan Lusiana, Nurinzana juga tak menuliskan motivasi dan target. Semua
kolom itu ia kosongkan dan ia tanda tangani di atas materai Rp 6.000.
Terakhir, caleg
dengan usia termuda lainnya adalah Santi. Caleg dari PSI itu hingga kini masih
bersatus sebagai mahasiswa. Santi merupakan caleg yang maju untuk DPRD
Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan (Sumsel). Ia menyebut motivasinya
menjadi caleg untuk kesejahteraan
rakyat.
(Sumber : [Preview ##eye##])
Data diatas
merupakan contoh beberapa caleg yang umurnya masih muda, dan bahkan masih ada
yang berstatus mahasiswi sudah nyaleg. Keberanian dan tekat yang kuat membawa
mereka berani untuk berkompetisi dengan politisi senior. Namun, itu tidak
menjadi halangan bagi mereka untuk maju dalam arena politik, dengan membawa
visi dan misi untuk kepentingan masyarakat.
Pemilu 2019 yang
akan dilaksanakan pada 17 April 2019 menjadi bukti bahwa anak muda tidak lagi
sekadar peramai, melainkan sudah diperhitungkan kualitas dan kuantitas mereka
dalam ranah politik.
Kita menyakini
bahwa politisi muda yang berkompetisi sudah mempunyai bekal atau basis suara
yang dapat melenggangkan mereka naik di parlemen sebagai politisi muda yang
diperhitungkan. Namun, juga tidak menutup kemungkinan, politisi muda ini akan
kalah bersaing dengan politisi senior. Tak jadi masalah, pada intinya mereka
sudah berani mencoba dan sudah satu langkah lebih awal mengenal ranah politik.
Pemilu 2019 sudah
menjadi saksi, bagaimana anak muda banyak terlibat dan bertarung dalam arena
politik. Ada yang sudah matang persiapannya, dan ada juga yang belum matang
persiapannya maju dalam pesta demokrasi 2019.
Ada beberapa
catatan yang mungkin kita bisa belajar pada pemilu 2019 ini, teruntuk politisi
muda. Agar, biaya politik tidak membengkak, untuk mencetak spanduk, sovenir,
dan peraga kampanye yang menghabiskan banyak uang, dan bisa saja kita cari
alternatif lain yang dapat mengurangi biaya kampanye para politisi muda. Dan
tidak untuk pemilu 2019 yah, namun lebih kepada persiapan pemilu di tahun 2024.
Kita bisa
memprediksi caleg muda pada 2024 mungkin saja akan lebih banyak, jika hari ini
hanya 21 % bisa jadi pemilu 2024 mencapai angka 50 % diisi oleh caleg muda atau
millenial. Oleh karena itu, ada beberapa hal penting yang bisa kita persiapkan
sebelum pemilu 2024 berlangsung.
Habitus. Ada ribuan caleg DPR RI, belum lagi di tingkat kota,
kabupaten, dan provinsi. Buanyak deh...dengan caleg yang banyak, maka daya
ingat masyarakat yang tidak mengenal secara detail rekam jejak, dan jiwa sosial
para caleg.
Berdasarkan berita
yang diterbitkan Tribunnews.com pada 20 September 2018, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) menetapkan sebanyak 7.968 calon legislatif (caleg) DPR RI. Jumlah itu
terdiri dari 4.774 caleg laki-laki dan 3.194 caleg perempuan.
"KPU RI juga
menetapkan DCT anggota DPR sebanyak 7968 calon dalam keputusan KPU RI
1129/PL.01.4-Kpt/06/IX/2018 tentang Draft Calon Tetap Anggota DPR RI Pemilu
Tahun 2019, tanggal 20 September 2018," ujar Ketua KPU, Arief Budiman, di
Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat.
(Sumber : [Preview ##eye##])
Sebanyak itulah
caleg dan calon wakil rakyat kita di parlemen, sehingga sebagian dari kita pun
enggan dan tidak tahu rekam jejak atau ketokohan caleg tersebut. Oleh karena
itu lah, kita harus mempersiapkan agar branding diri kita (caleg) dapat dikenal
oleh masyarakat, dengan tujuan agar kita dapat meminimalisir biaya kampanye.
Nah, kali ini kita
akan menulis sedikit dari teori Pierre Felix Bourdieu salah satu tokoh
Sosiologi. Pernah mendengar nama tokoh tersebut ? Jika sudah, mari kita coba
menerapkan apa yang sudah Bourdieu narasikan dalam teorinya, jika belum pernah
mendengar atau membaca teorinya, yuk kita membaca dan menerapkannya dalam
proses sosial kita sebagai masyarakat, dan teruntuk caleg muda atau politisi
muda yang akan berkompetisi pada pemilu 2024.
Salah satu teori
yang Bourdieu tulis, yaitu tentang Habitus. Kebiasan-kebiasaan yang dilakukan
oleh individu atau masyarakat. Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati
oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang
berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku
yang menetap di dalam diri manusia tersebut.
(Sumber : [Preview ##eye##])
Bourdieu
mendefinisikan habitus adalah suatu sistem melalui kombinasi struktur objektif
dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang
berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan
terpadu secara objektif.
Selanjutnya, bisa
juga, habitus sebagai suatu nilai-nilai masyarakat yang sudah terinternalisasi,
permainan sosial yang sudah ditubuhkan dan diubah menjadi alam ke dua dalam
bawah sadar seseorang. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman
seseorang tentang dunia, yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas
dunia.
Habitus bisa
dikatakan sebagai konstruksi Psikologi (mental) individu secara sosial,
nilai-nilai mental yang dibentuk oleh lingkungan sosial-budaya. Habitus
merupakan logika selera yang mengikuti logika kebiasaan dalam interaksi sosial.
Sebagai seorang
caleg, tentunya kita akan berinteraksi dengan masyarakat. Oleh sebab itulah,
pentingnya sebuah habitus atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah kita tanam.
Misalnya saja, kebiasaan dalam membangun komunikasi sosial dengan masyarakat,
atau bisa juga kita (sebagai caleg) aktif sebagai aktor sosial.
Misalnya, dalam
ranah pendidikan, ketika kita menjadi seorang pelajar atau mahasiswa,
kebiasaan-kebiasaan kita lakukan, seperti membaca buku, berdebat atau
berargumentasi, berdiskusi, itulah bagian dari habitus kita sebagai seorang
pelajar ataupun sebagai mahasiswa. Karena ranah atau arena kita dalam dunia
pendidikan, yang sudah sepatutnya kita menjalankan kebiasaan-kebiasaan
tersebut.
Dalam ranah
politik, sebagai seorang poltisi muda juga harus membangun habitus sebagai cara
untuk mendapatkan basis suara atau pendukung. Ketika kita (Politisi muda) yang
masuk dalam arena politik sudah menyadari bagaimana pentingnya membangun basis
suara yang akan mendongkrak suara kaum millenial, dengan harapan politisi muda
bisa menjadi pemenang dalam kompetisi berebut posisi di parlemen. Duduk di
parlemen, kita harus bisa mendulang suara rakyat, dan mempunyai basis pemilih
yang loyal kepada kita.
Basis suara
tidaklah dalam sekejap kita dapatkan, harus melewati beberapa proses sosial
yang ada dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itulah, kita harus sudah
mulai membangun basis suara dengan kebiasaan-kebiasaan yang kita terapkan. Kita
ingat, bahwa habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan
tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga
mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri
manusia.
Proses sosial yang
sudah berlangsung lama, akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang kita
terapkan tanpa kita sadari akan mendongkrak atau menambah basis suara kita,
dengan tujuan pada saat pemilihan legislatif kita mendapatkan basis suara yang
loyal kepada kita.
Nah, untuk
membangun sebuah basis suara, kita sebagai caleg muda bisa menerapkan
kebiasaan-kebiasaan dalam ranah politik sebagai cara untuk mendulang suara
masyarakat. Setidaknya, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan, yaitu sebagai
berikut :
Pertama, Aktif sebagai Aktor Sosial. Politisi muda bisa membangun basis suara dengan aktif
menjadi aktor sosial. Apa itu aktor sosial ?
Aktor sosial adalah
orang yang ikhlas dan konsisten mendesain gerakan-gerakan sosial pemerdayaan
masyarakatnya. Selalu datang menawarkan solusi-solusi alternatif terhadap
pemecahan masalah sosial masyarakat, dan aktor sosial tidak pernah absen disaat
rakyat membutuhkan pemikirannya.
Dengan ikhlas membantu masyarakat, tanpa ada
target-target lainnya. (untuk lengkap artikel dan ulasan aktor sosial bisa kamu
baca di link berikut ini : [Preview ##eye##])
Dalam membangun
basis suara, kebiasaan-kebiasaan yang bisa dilakukan oleh caleh muda adalah dengan
mendesain gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat. Misalnya dalam hal
pemerdayaan masyarakat, menjadi fasilitator dalam usaha-usaha kecil yang
dikembangkan di daerah tersebut, seperti usaha pemerdayaan ikan lele, caleg
muda bisa menjadi fasilitator dalam pengembangan produk-produk dari hasil
produk lele tersebut.
Inilah salah satu
kebiasaan atau habitus yang bisa kita laksanakan dalam lingkungan masyarakat,
sehingga kita mendapat perhatian dan basis suara kita akan bertambah.
Masyarakat pun akan dengan mudah mengenal kita, tanpa mereka harus melihat
spanduk, baleho, ataupun sovenir kita, karena mereka sudah yakin dengan
pergerakan yang kita buat.
Dengan cara menjadi
aktor sosial, maka tindakan dan perilaku serta penanaman nilai-nilai sosial
dalam masyarakat dengan sendirinya akan terbentuk. Inilah yang akan
mempengaruhi masyarakat untuk dapat menentukan pilihan mereka. Ingat yah guys,
jadilah aktor sosial dengan membangun gerakan-gerakan sosial, dan membangun
pemerdayaan dalam masyarakat. Dengan demikian, habitus inilah yang akan
membantu kita mendulang suara saat pesta demokrasi atau pemilu legislatif
berlangsung.
Kedua, Mendirikan Komunitas Sosial. Politisi muda mempunyai banyak ide dan gagasan yang
bisa dituangkan dalam lingkungan masyarakat. Ide dan gagasan itu bisa diterapkan
dengan membuat komunitas sosial. Silahkan dipilih, ingin bergerak dalam bidang
apa, bisa saja dalam bidang pendidikan, bidang sosial, atau dalam bidang
pertanian dan perkebunan, seperti membuat komunitas dalam dunia pendidikan,
dengan turun langsung ke masyarakat melakukan sosialisasi tentang dunia
pendidikan, misal sosialisasi perihal beasiswa, mengenalkan kampus-kampus
terbaik, atau memberikan motivasi tentang pentingnya pendidikan untuk anak
kepada masyarakat atau orang tuanya, dan contoh lainnya.
Bisa juga
mendirikan komunitas yang bergerak dalam bidang sosial, yaitu komunitas yang
bergerak dalam menolong kepentingan masyarakat, seperti memberikan dukungan
hukum, atau membuat komunitas yang peduli terhadap fenomena sosial dalam
masyarakat, seperti komunitas peduli lingkungan, dengan bergerak memberikan
sosialisasi pentingnya ekosistem alam, dan kebersihan lingkungan kepada
masyarakat, anak-anak, remaja, dan elemen dalam masyarakat itu sendiri.
Dengan cara itulah,
caleg muda bisa membangun basis suara, dan proses sosial dalam menerapkan
kebiasaan-kebiasaan atau habitus untuk mendapatkan basis suara, yah dengan
harapan pada saat pemilihan legislatif, nama kita sudah familiar dan dipilih
oleh masyarakat.
Mari kita mulai
dengan turun langsung mendirikan komunitas sosial untuk kepentingan masyarakat
dan komunitas yang bergerak untuk kemajuan masyarakat banyak.
Ketiga, Bersilahturahim dengan Masyarakat. Selain menjadi aktor sosial dan menjadi founder sebuah
komunitas sosial, sebagai caleg muda, rajin-rajinlah untuk membangun kebiasaan
bersilahturahim dengan masyarakat, bisa dengan tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh
masyarakat yang di tuakan, dan tokoh yang bergerak dalam bidang perempuan.
Silahturahim ini
tidak kita lakukan pada saat menjelang kampanya saja, namun sudah jauh hari
kita lakukan silahturahim tersebut.
Keempat, Mulailah dari Sekarang untuk nge-Branding Diri
di Media Sosial. Media sosial
adalah ladang suara. Berjuta pengguna smartphone aktif di jejaring media
sosial, baik itu pengguna facebook, instagram, twitter, dan media sosial
lainnya. Hanya dengan genggaman semua orang dapat mengakses medsos dalam hitungan
detik saja. Oleh karena itu, penting bagi kita caleg muda untuk membangun branding di media sosial.
Data yang dikutip dari halaman
inet.detik.com, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh We Are Social yang
bekerjasama dengan Hootsuite, menyebutkan bahwa ada 130 juta orang Indonesia
yang terbilang aktif di media sosial (medsos).
Laporan We Are Social
mengungkapkan bahwa total populasi Indonesia mencapai 265,4 juta jiwa,
sedangkan pengguna internetnya setengah dari populasi, yakni sebesar 132,7
juta.
Bila dilihat dari jumlah
pengguna internetnya, maka bisa dibilang seluruh pengguna internet di Indonesia
sudah mengakses medsos. We Are Social mengatakan 132,7 juta pengguna internet,
130 juta diantaranya pengguna aktif di medsos dengan penetrasi 49%.
Sedangkan dari jumlah perangkat, We Are Social mengatakan
unique mobile users menyentuh angka 177,9 juta dengan penetrasi 67%. (Sumber : [Preview ##eye##])
130 juta orang
Indonesia. Kebayang ya guys ! Pentingnya membangun branding di media sosial
(dunia internet), dengan harapan kita dapat mempengaruhi basis suara di dunia
maya, dan kita juga bisa memperkenalkan diri kita kepada masyarakat secara
efektif.
Dengan adanya
bantuan media sosial kita dapat menerapkan habit atau kebiasaan kita dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan sosial kita sebagai aktor sosial. Secara tidak
langsung kita dapat mempengaruhi dukungan suara kita, dan juga dapat mengurangi
biaya kampanye kita.
Oleh karena itu,
sebagai calon caleg muda, sudah sewajarnya kita melakukan kegiatan-kegiatan
politik atau aktivitas politik yang mencerdaskan dan dengan cara-cara yang
kreatif. Mulailah untuk membangun kebiasaan-kebiasaan di lingkungan masyarakat.
Secara singkat,
artikel ini hanya membahas habitus sebagai salah satu cara yang bisa kita
terapkan dalam mendulang suara untuk caleg muda yang berpartisipasi dalam arena
politik. Nah, lanjutan dari artikel ini kita akan membahas tentang Arena, dan
Modal teori dari Bourdieu.
Sumber
bacaan/refrensi : Buku Postmodernisme Teori dan Metode oleh Dr Akhyar Yusuf
Lubis