-->

Menurut Bourdieu : Kekerasan Simbolik yang Rakyat Alami saat Pandemi, Benarkah ?

Teori Pierre Bourdieu tentang simbolik power atau kekuasaan dan kekerasan simbolik. Sekilas juga mengenai habitus, ranah atau arena, sumber modal, dan doxa.

Menurut Bourdieu : Kekerasan Simbolik yang Rakyat Alami saat Pandemi, Benarkah ?

Sosiologi Info - Teori Pierre Bourdieu tentang simbolik power atau kekuasaan dan kekerasan simbolik yang terjadi disaat pandemi c0vid-I9 di Indonesia. Sekilas juga mengenai habitus, ranah atau arena, sumber modal, dan doxa. Yuk simak ulasannya !

Fenomena sosial pandemi atau wabah virus C0vid-I9 mempengaruhi aktivitas masyarakat. Sebulan lebih sudah berlalu. Pandemi ini menyisakan duka yang mendalam, baik terhadap tenaga medis yang meninggal, korban jiwa (warga) yang terpapar c0vid-I9, hingga meninggal.

Serta berbagai fenomena sosial yang membuat kita sedih, dan cukup terpukul terhadap pandemi ini, secara pandemi sudah menjadi wabah global atau seluruh dunia terjangkit virus tersebut.

Data terbaru, 11 Mei 2020, Pandemi c0vid-I9 telah menginfeksi 4.179.861 orang di 212 negara, dan beberapa wilayah dunia lainnya. Ada sekitar 183.850 orang meninggal, dan ada sekitar 1.490.550 orang berhasil sembuh.

Sementara di Indonesia, kasus positif terinfeksi c0vid-I9 yaitu ada sekitar 14.032 orang, dengan jumlah yang meninggal ada sekitar 973 orang, dan ada sekitar 2.698 orang pasien berhasil sembuh.

Hingga saat ini, kita semua tidak tahu kapan akan berakhirnya wabah pandemi ini, yang kebanyakan orang hanya bisa memprediksi laju penuruan kasus, dan prediksi berakhirnya virus masih tentatif.

Salah satu prediksi dari Singapore University of Technology and Design (STUD), dalam data terbaru pada Selasa, 5 Mei 2020 menyebutkan bahwa pandemi c0vid-I9 di Indonesia akan berakhir pada 7 Oktober 2020 mendatang.

SUTD memprediksi dengan menggunakan model matematika tipe susceptible-infected-recovered (SIR), yang mana diregresikan dengan data dari berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Trend pensebaran pandemi ini di Indonesia dikhawatirkan akan membludaknya jumlah pasien, karena adanya perpindahan orang, baik yang akan pulang kampung, atau mereka yang di PHK. Mereka yang bekerja di kota dengan status zona merah, seperti Jakarta, atau kota lainnya. 

Nah, tentunya mereka yang tidak lagi bekerja di kota akan pulang kampung untuk menghindari bayar kos, meminimalisir pengeluaran : kebutuhan makan, yang membuat mereka tak betah lagi tinggal di perantauan.

Lantas, masyarakat yang saat ini hendak pulang kampung, ke daerahnya masing-masing mengalami kendala, karena ada nya peraturan PSBB, dan berbagai larangan untuk pulang kampung, seperti tidak diperbolehkannya aktivitas transportasi umum untuk mengangkut penumpang.

Yang memang pada awalnya dibeberapa pertaturan PSBB hanya boleh mengakut 50% penumpang saja, serta berbagai peraturan lainnya tentang PSBB.

Coba kita lihat, berapa jumlah PHK yang terjadi selama pandemi ini berlangsung hingga saat ini, dilansir dari Cnbcindonesia.com, menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan saat pandemi mencapai 7 juta orang.

Bisa kebayang ya, kira-kira sebanyak itu, pekerja di PHK, lalu tak mungkin mereka tetap diam disana, sementara harus membayar kos dan biaya makan. Pilihan mereka ya tetap harus pulang kampung.

Tapi, tak semudah itu, ada bahkan harus kejar-kejaran dengan petugas, dan mencari jalan tikus untuk bisa melewati pos penjagaan dijalur lalu lintas, dan atau pos lainnya.

Bahkan, ada yang nekad, berinisiatif, menggunakan mobil derek yang diatasnya ada mobil yang pura-pura rusak, padahal ada penumpang yang hendak dibawa balek kampung.

Banyak deh cara kreatif masyarakat agar bisa sampai dikampung halaman. Masyarakat dibenturkan dengan aturan sang penguasa yang membingungkan rakyatnya. Tidak balek kampung, ya susah di perantauan, balek kampung disuruh putar balik lagi.

Sementara, bantuan tak juga kunjung datang, apakah pemerintah yang berkuasa hari ini menginginkan rakyatnya tertindas, dan mati secara perlahan ? 

Disinilah Bourdieu menyampaikan kritikannya terhadap bentuk simbol bahasa yang dimana masyarakat mengalami tekanan terhadap kekuasaan dan kekerasan simbolik, atau disebut oleh Bourdieu sebagai Simbolik Power.

Ya, perkembangannya memang sekarang, kekerasan itu tidak hanya terjadi secara fisik, melalui penglihatan indera manusia. 

Kekerasan dan kekuasaan simbolik juga terjadi dengan simbol-simbol bahasa yang digunakan untuk mendominasi masyarakat agar mengikuti aturan dan keinginan para penguasanya.

Sebelum lebih jauh kita membahas fenomena ini melalui sudut pandang Pierre Bourdieu tentang simbolik power atau kekuasaan dan kekerasan simbolik kepada rakyat, yuk simak dulu sekilas mengenai profil Pierre Bourdieu.

Pierre Bourdieu. Pernahkah anda membaca pemikiran Bourdieu ? Mungkin pernah, Pemikiran Bourdieu menjadi bagian penting dalam perkembangan filsafat, ilmu sosiologi, antropologi, dan lainnya. Nah, coba kita mengenal sekilas Pierre Bourdieu, yuk simak !

Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Prancis. Bourdieu meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis, umurnya pada saat itu 71 tahun. Bourdieu salah satu filsuf, tokoh sosiologis, dan antropolog yang berpengaruh pada era filsafat abad ke 20.

Berbagai kajian dalam ilmu sosial, seperti kajian filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, ilmu politik, ekonomi politik, teori pendidikan, feminisme, teori sastra, kritik seni, dan teori komunikasi.

Bourdieu mulai tertarik dengan Sosiologi setelah melakukan studi etnografi pada petani di Kabylia, ketika dia melaksanakan tugas militer di Aljazair. Boirdieu adalh filsuf yang terkenal dengan komitmennya sebagai intelektual publik hingga akhir hayatnya. 

Ide dan gagasan utamanya terdiri dari habitus, modal, ranah/arena, dan kekerasan simbolik. Bourdieu merupakan aliran dari Strukturalisme, sosiologi kritis, dan strukturalisme genetik. 

Sekilas mengenal pemikiran Pierre Bourdieu. Sebelumnya saya mintak maaf karena buku yang saya punya dipinjam sama adek kelas, jadi referensi dari buku yang sudah pernah saya baca yang tercantumkan disini.

Saya hanya mengingat sekilas saja, serta mencoba cari beberapa sumber jurnal, dan bacaan artikel yang relevan terhadap artikel yang saya tulis ini. Berikut dibawah ini beberapa penjelasan singkatnya.

Habitus. Bourdieu dalam konsepnya habitus yang merupakan sebagai analisis sosiologis dan filsafat atas perilaku manusia. Artinya, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama.

Dengan demikian, habitus mengendap menjadi cara berpikir, pola perilaku yang menetap di dalam pribadi manusia itu sendiri.

Sumber Modal. Kapital merupakan modal yang dapat memungkinkan manusia bisa mendapatkan kesempatan-kesempatan dan peluang untuk karir dalam hidupnya.

Sumber modal ini meliputi, modal budaya, modal ekonomi, modal intelektual/pendidikan, modal sosial/jaringan sosial, modal prestise atau modal simbolik.

Ranah/Arena. Ranah atau Arena merupakan ruang yang khusus terdapat dalam masyarakat itu sendiri, seperti arena politik, bisnis/pengusaha, seniman/kesenian, arena pendidikan, dan berbagai bentuk arena lainnya.

Ranah bisa kita lihat dalam cakupan yang lebih luas, misalnya ranah seorang presiden akan berbeda dengan gubernur, wali kota, dan bupati. Ranah disini bisa kita lihat pengaruhnya yang luas dan punya kuasa untuk ikut menentukan arah atau kebijakan tersebut.

Sementara, arena, pada cakupan atau wilayah yang lebih spesifik, atau lebih kecil, seperti kuasa seorang gubernur, walikota, dan bupati hanya berlaku didaerah mereka saja, tanpa ada kuasa di luar daerah mereka.

Doxa. Pengertian doxa merupakan pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa.

Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, ya walaupun secara konseptual, pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.

Doxa menunjukan bagaimana para penguasa dapat meraih dan mendominasi kekuasaan mereka, tanpa adanya sikap kritis dari rakyat.

Penguasa berhasil meraih kekuasaannya, mempertahankan, dan menambah jangkauan kekuasaannya dengan cara dominasi tadi, yaitu bisa melalui bahasa dan simbol yang masuk kedalam pikiran rakyat yang dikuasi.

Dengan demikian, rakyat merasa bahwa dirinya itu bagian dari penguasa atau kekuasaan, yang sedikitpun tidak merasa tertindas dengan dominasi para penguasa tersebut.

Itulah doxa yang sudah masuk dalam pikiran rakyat, sehingga mereka mengikuti dan hilangnya sikap kritis mereka sebagai rakyat, yang juga mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan.

Nah, itu tadi sekilas pemikiran Bourdieu yang mesti kita ketahui bersama, yaitu tentang habitus, ranah/arena, sumber modal/kapital, dan doxa.

Ada yang menarik bagi kita untuk melihat fenomena sosial dalam pandemi wabah virus sekarang ini, yaitu tentang pemikiran Bourdieu perihal kekuasaan dan kekerasan simbolik yang menindas rakyat melalui bahasa dan simbol yang digunakan.

Misalnya dalam penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang ada saat ini sebagai cara untuk memutus dan mencegah penyebaran virus tersebut.

Nah, dibawah ini coba kita lihat bagaimana dominasi simbolik itu berjalan dan menindas rakyatnya untuk ikut dalam dominasi tersebut.

Masyarakat mengalami kekerasan simbolik disaat pandemi wabah virus C0vid-I9, Benarkah ? Baru-baru ini kita juga mendapatkan berita yang kurang baik untuk kita dengar, yaitu perihal plin plannya pemerintah dalam menerapkan aturan pelarangan transportasi umum.

Serta berbagai pernyataan yang membuat kontroversi dalam lingkung masyarakat yang mendengarkan dan membaca kata-kata tersebut. Terbaru akhir-akhir ini pemerintah ingin melonggarkan aturan PSBB.

Ada empat kriteria yang katanya akan menjadi cara untuk melakukan pelonggaran PSBB, yaitu Prakondisi, waktu, prioritas, dan koordinasi.

Kawan kawan bisa membacanya disini ya : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200512140942-20-502528/doni-monardo-beberkan-4-kriteria-pelonggaran-psbb

Apalagi sekarang transportasi sudah mulai beroperasi kembali, ya katanya juga pada bulan juli akan diaktifkan lagi sekolah, kampus, dan aktivitas yang katanya akan normal seperti biasa.

Lalu, kita melihat masyarakat yang ikut meramaikan penutupan makanan cepat saji M*D yang ada di Jakarta. Masyarakat tentunya akan bertanya kenapa tidak ada pembubaran atau peringatan untuk tidak datang berkerumun disana ?

Bukankah kita masih menjalankan PSBB saat sekarang ini ? Hal ini menunjukkan bahwa kita tebang pilih dalam menerapan aturan PSBB yang berlaku kepada masyarakat. Apakah ini yang diinginkan pemerintah ?

Kamu bisa baca beritanya disini :
https://tirto.id/polri-tak-permasalahkan-kerumunan-mcd-sarinah-di-masa-covid-19-fqdD
https://money.kompas.com/read/2020/05/07/204255126/kajian-awal-pemerintah-mal-dan-pasar-buka-8-juni-sekolah-mulai-15-juni?page=all

Pelaksanaan PSBB seakan menjadi bumerang bagi rakyat, apalagi mereka yang di PHK dan masih tinggal di kota tempat mereka kerja. Untuk bertahan hidup saja mereka susah, dengan pemenuhan kebutuhan makan.

Terus harus membayar uang kontrakan/kos, dan pemenuhan kebutuhan lainnya, yang tanpa kita sadari akan membuat para pekerja tertindas.

Apa pasalnya, ya mereka tidak bisa pulang kampung, karena adanya peraturan PSBB yang membuat para pekerja yang terkena PHK tidak bisa pulang kampung. Sementara bantuan untuk mereka bertahan hidup belum maksimal.

Menurut Bourdieu, kapital simbolik adalah yang paling mulia. Kapital simbolik menghasilkan kekuasaan simbolik disaat orang tidak merasa keberatan untuk masuk dalam dominasi simbolik.
Kekerasan simbolik dapat berjalan karena adanya mekanisme kekerasan simbolik melalui dua cara yaitu, eufimisme dan sensorisme.

Eufimisme adalah kondisi dimana kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, dan tidak dapat dikenali, sedangkan sensorisme menjadikan kekerasan simbolik sebagai bentuk pelestarian semua nilai yang dianggap “moral kehormatan”.

Disinilah, Bourdieu melihat letak inti hubungan bahasa dan mekanisme kekuasaan simbolik. Pada kehidupan sehari-hari kekuasaan simbolik jarang nampak dalam bentuk kekuatan fisik.

Namun, lebih pada bentuk simbolik. Hal itu mencirikan bentuk legitimasi yang tidak dimiliki oleh semua orang. Bourdieu mengekspresikan poin ini dengan mengatakan bahwa kekuasaan simbolik adalah “kekuasaan yang tidak nampak” (invisible power).

Rakyat tanpa sadar telah mengalami kekuasaan dan kekerasan simbolik, menurut Bourdieu kesadaran itu tidak akan terungkap karena mereka (rakyat) sudah mengalami Doxa, seperti yang sudah saya sampaikan diatas perihal doxa.

Beberapa pekerja yang balek kampung bahkan harus memutar arah lagi, karena adanya penerapan PSBB mereka tidak mendapatkan izin untuk melanjutkan perjalannya. Lantas, bagaimana mereka bisa bertahan, sementara pekerjaan tidak ada, dan mereka harus membayar uang kos.

Untuk kebutuhan makan saja sudah bersyukur mereka masih ada simpanan dari hasil kerja, sebelum terkena dampak PHK. Nah, beberapa yang menjadi hemat saya, dalam menyikapi dan pemerintah harus hadir dalam melindungi, menjaga, dan memberikan hak-hak rakyat pada saat pandemi.

Saran saya, agar para pekerja yang masih tinggal di kota agar diberikan fasilitas baik bantuan sosial, ataupun kita pulangkan mereka ke tujuan kampung halaman, dengan tetap mengedapnkan protokorel kesehatan.

Pemerintah hadir untuk hal ini, bukan malah memberikan pengaruh simboliknya, tanpa ada memberikan kepastian dan bantuan untuk mereka makan, atau untuk membayar uang kosnya.

Dengan demikian mereka juga akan tetap dirumah, dan tidak nekat untuk pulang kampung, karena kalau di kampung mereka kan bisa makan seadanya dulu, sambil menunggu pandemi ini berakhir.

Jangan menindas rakyat dengan aturan yang membingungkan rakyat disaat pandemi seperti sekarang ini, karena rakyat butuh kepastian, butuh perlindungan, agar bisa bertahan disaat situasi wabah virus.

Jangan kedepankan simbolik power sebagai cara penguasa untuk memberikan pengaruhnya, serta dominasi simbolik yang merugikan rakyatnya sendiri.

Begitulah, menurut Bourdieu, bahwa bentuk kekerasan simbolik itu ‘lembut’, ‘kekerasan yang tidak terikat’, ‘kekerasan yang dibatinkan dalam sikap-sikap kepercayaan, kewajiban, loyalitas pribadi, hadiah, utang, kesalehan, yang semua itu merupakan bentuk kebaikan dalam etika kehormatan.

Dari beberapa paparan diatas, menurut kamu apakah benar masyarakat mengalami kekuasaaan dan kekerasan simbolik saat pandemi seperti sekarang ini ?

Apa argumentasi kamu, yuk bicara, saling mengingatkan dan menyadarkan para penguasa untuk tunduk kepada rakyatnya, bukan malah menindas rakyatnya sendiri, mari memberikan solusi bukan malah menjadi pembenar dan tidak bisa menerima kritik.

Sumber Referensi Bacaan yang bisa kamu baca :
https://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/
https://journal.ugm.ac.id/poetika/article/viewFile/10437/7881
file:///E:/download%20oktober%202018/Download%20opera%20mini%20file/2649-5237-1-SM.pdf
https://jurnal.ugm.ac.id/poetika/article/view/10420/7866
https://id.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu
https://international.sindonews.com/read/23865/42/covid-19-dunia-11-mei-41-juta-positif-283850-meninggal-14-juta-sembuh-1589159147
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5004466/kapan-wabah-corona-di-indonesia-berakhir-ini-6-prediksi-yang-pernah-dibuat
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200510080505-4-157369/lebaran-kelabu-thr-buruh-dicicil-7-juta-pegawai-kena-phk

Sumber Foto Pierre Bourdieu :
guim.co.uk

1 komentar

  1. Pemulung Pemikiran
    Kalau katanya Pareto ini adalah kekuasaan yang sifatnya top down yang mana pemerintah menjadikan rakyatnya sbg objek yang dikuasainya. Pemerintah bebas mengatur rakyatnya melalui kebijakan-kebijaknnya. Inilah sbnrnya cikal bakal mendorong terbentuknya tirani pemerintah atas rakyatnya.

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !