-->

Memahami Konflik Israel Palestina : Sejarahnya, Ulasan Perspektif Sosiologi

Bagaimana sebenarnya, problematika konflik Israel dan Palestina ? Berikut ini sejarahnya, dan contoh ulasan menurut perspektif sosiologi.

Memahami Konflik Israel dan Palestina : Sejarahnya, serta Ulasan Menurut Perspektif Sosiologi

Sosiologi Info - Konflik yang saat ini sedang terjadi antara Israel dan Palestina menjadi perhatian semua pihak. Bagaimana sebenarnya, problematika konflik Israel dan Palestina ? Berikut ini sejarahnya, dan contoh ulasan menurut perspektif sosiologi. 

Penulis Artikel : Rafly Caesario | Mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia (UI) | Instagram @rafly_crs

Sejarah Kusut Konflik Israel-Palestina. Tentu diantara kita akhir-akhir ini melihat bagaimana panasnya aksi saling membalas antara Israel dengan Palestina yang dipimpin oleh Hamas. 

Rudal-rudal tampaknya bukanlah suatu yang berbahaya bagi kedua pihak yang berkonflik. Hal tersebut semakin menjadi ketika Palestina yang sedang terbelenggu penjajahan sepihak  Israel terus-menerus digempur tanpa henti oleh Israel. 

Ratusan jiwa melayang dan sekitar 600-an jiwa mengalami luka-luka. Sudah berangtentu penderitaan masyarakat Palestina belum juga berhenti. Namun, sebenarnya bagaimana awal mula problematika ini terjadi? Bagaimana perjalanan konflik ini?

Menurut Ustadz Felix Siauw dalam akun Tumblr pribadinya, awal mula terjadinya problematika Israel-Palestina disebabkan runtuhnya Khilafah Islamiyyah. 

Kala itu, tepatnya pada abad 20 Kekhilafahan Utsmaniyyah seperti terjebak tanpa alasan yang jelas untuk mengikuti perang dunia I yang berakhir pada kekalahan pihak Jerman dan Khilafah. 

Selanjutnya, wilayah khilafah harus dipecah menjadi berbagai negara yang lebih kecil dan diambil oleh Inggris dan Prancis sebagai pihak sekutu yang memenangi perang dunia I. Hal inilah yang menjadi awal mula “bencana” bagi kaum muslimin Palestina.

Yahudi semakin buas ketika mereka disponsori oleh keluarga bankir Rothchilds dan pionnya Theodore Hertzl. Mereka saling bahu-membahu untuk mewujudkan berdirinya negara untuk menampung kaum Yahudi yang saat itu ditolak di berbagai tempat karena perilakunya yang “ugal-ugalan”. 

Setelah itu, mereka memutuskan bahwa tanah Palestinalah yang akan mereka dirikan sebuah negara yang saat ini disebut sebagai ‘Israel’. 

Untuk mewujudkan hal tersebut, mereka merayu Inggris yang memang memegang kendali tanah Palestina untuk menyerahkan tanah Palestina kepada mereka. 

Perjuangan mereka sangatlah mulus, mereka berhasil merebut tanah Palestina. Tepatnya pada 2 November 1917, Inggris menyetujui pendirian negara Israel melalui deklarasi Balfour.

Perjuangan mereka semakin mulus setelah pada Desember 1922, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) memberikan landasan yudisial bagi Inggris dengan memberikan mandat pengaturan wilayah Palestina. Alhasil, sekitar 1,3 juta kaum  Yahudi bermigrasi ke tanah Palestina. 

Sejak itulah, ratusan bahkan ribuan nyawa kaum muslim melayang tanpa disertai alasan yang jelas. Puncaknya, pada 29 November 1917, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamirkan berdirinya negara Israel yang didukung oleh negara adidaya Amerika Serikat dengan wilayah untuk Israel sebesar 55% dan 45% untuk Palestina. 

Setelah itu, pengusiran dan pembunuhan kepada kaum mulim Palestina semakin meningkat. Perjuangan Yahudi belumlah berakhir. Bagikan sang penguasa yang rakus dan penjajah yang bengis, mereka membuat perang rekayasa untuk memperluas wilayah mereka di tanah Palestina. 

Perang tersebut dinamakan perang Arab-Israel yang diikuti oleh Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah. Negara-negara tersebut seolah-olah membela Palestina meskipun sebenarnya mereka sengaja ‘mengalah’ demi labelisasi “Israel adalah negara tak terkalahkan”. 

Hasilnya, Israel berhasil memperluas wilayah mereka hingga 70% dan bahkan saat ini Israel berhasil menguasai lebih dari 90% wilayah Palestina.

Pandangan Islam dan Logika Sosiologi. Islam memang mengajarkan salam perdamaian dimanapun jiwa-jiwa berada. Namun, dalam problematika Israel-Palestina, ajaran Islam telah memandu penganutnya untuk mengatasi hal tersebut. 

Pendirian kembali kepemimpinan Islam (Khilafah) dan bersatu padu untuk memperjuangkan tanah Palestina (Jihad) menjadi solusi cerdas yang harus diambil dan diwujudkan. 

Saat ini, memang diksi ‘Khilafah’ dan ‘Jihad’ seperti “menakutkan” bagi orang-orang yang tak pernah mau mendengar serta memahami esensi yang sebenarnya dari istilah-istilah tersebut. 

Jika umat Islam lebih memilih menyerahkan problematika Israel-Palestina kepada PBB tentunya sampai kapanpun peluang tanah Palestina kembali ke pelukan kaum muslim begitu kecil. 

Mengapa demikian? Tampaknya kita perlu menggeser pembahasan kepada logika sosiologi untuk menjelaskan hal ini. 

Ulasan Menggunakan Perspektif Sosiologi. Kajian sosiologi membahas adanya praktik memperebutkan dominasi baik kekuasaan ataupun kekayaan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya kelompok yang sering ‘tak kasat mata’ yang ternyata mengontrol segala hal yang ada di suatu negara bahkan urusan internasional sekalipun, kelompok inilah yang disebut sebagai kelompok “elit”. 

Kita tahu bahwa dunia ini memiliki PBB sebagai institusi yang berfungsi untuk menengahi setiap konflik yang ada termasuk konflik Israel-Palestina. Namun, kelompok elit benar-benar menunjukkan tajinya untuk mempengaruhi PBB. 

Hal ini setidaknya bisa kita lihat dimana sampai saat ini PBB tidak berusaha untuk memberikan keputusan yang adil bagi Palestina. Keputusan mereka terlihat dipengaruhi oleh “kelompok elit” yang menurut penulis adalah Amerika Serikat sehingga Israel selalu diuntungkan dalam konflik Israel-Palestina.

Pada akhirnya, hampir senada dengan gagasan jihad, sosiologi dengan perspektif konflik ala Marx menawarkan teori pemahaman tentang “perjuangan kelas”. Dalam hal ini masyarakat Palestina sebagai kaum yang tertindas harus memperjuangkan hak-hak mereka setidaknya hak mereka untuk hidup di dunia ini. 

Tentunya perjuangan mereka perlu didukung oleh seluruh umat Islam di dunia tanpa terkecuali. Kita harus melihat bahwa problematika Israel-Palestina bukan hanya urusan agama saja tetapi juga “urusan manusia yang berhak mempertahankan nyawanya.” 

Selain itu, perspektif pos-modern ala Deridda juga dapat dijadikan landasan pemikiran dalam konflik ini. Hal tersebut dimana kaum muslim di Palestina dan seluruh dunia  harus dapat “membongkar” atau men-dekonstruksi narasi besar yang menyatakan bahwa Israel adalah negara yang tak terkalahkan; tentunya diiringi dengan semangat memperjuangkan kemerdekaan tanah Palestina.

Nah, itulah ulasan singkat bagaimana cara kita memahami konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, serta contoh kajian atau ulasan dalam perspektif sosiologinya.  

Sumber Referensi : 

Ritzer, George. (2011). Sociological Theory. New York: MC Graw Hill

https://ustadzfelixsiauw.tumblr.com/post/91908465156/tentang-akar-masalah-palestina-dan-solusi-totalnya/amp

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !