-->

Mengapa Penting Belajar Filsafat : Ini Manfaat, Alasan, dan Contoh Memahami Fenomenanya

Mengapa Penting Belajar Filsafat : Ini Manfaat, Alasan, dan Contoh Memahami Fenomenanya.
Mengapa Penting Belajar Filsafat : Ini Manfaat, Alasan, dan Contoh Memahami Fenomenanya

Sosiologi Info - Kamu pasti bertanya-tanya, apa sih pentingnya kita belajar juga tentang filsafat dalam kehidupan sehari-hari, mau tahu ? 

Nah berikut ini alasan mengapa penting belajar filsafat, serta manfaat dan contoh memahami fenomena sosial yang terjadi, seperti melawan Hoax.

Penulis Artikel : Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Padang | Novran Juliandri Bhakti 

Sekilas Definisi Filsafat dari Berbagai Sisi Epistemologis

Setiap manusia memiliki akal, akal ini digunakan untuk berpikir. Pasti setiap manusia memikirkan apa yang akan menjadi tujuan dalam hidupnya. Manusia akan terus berkembang, berproses, serta mengeluarkan potensi dalam dirinya.
 
Untuk mewujudkan serta melaksanakan hal-hal tersebut, diperlukan kedalaman dan kematangan dalam berpikir. 

Berpikir dan memikirkan suatu hal saja tidak cukup, perlu adanya analisis kritis dan akademis. Sehingga membentuk logika berpikir yang sehat dan cerdas. 

Menurut hemat saya, cara membentuk logika berpikir yang kritis dan akademis tersebut diperlukan cabang ilmu yaitu filsafat. Filsafat sendiri memiliki definisi yang begitu ragam dari sisi epistemologis.
 
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan philosophy. Sedangkan dalam bahasa Yunani yaitu philosophia.

Kata philosophia terdiri dari dua kata yaitu philein dan Sophia. Dua kata ini memiliki arti yaitu cinta (love) dan kebijaksanaan (wisdom). Sehingga secara istilah, filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom). 

Filsafat Menurut Para Tokoh : Plato dan Aristoteles

Para tokoh-tokoh filsafat juga memaparkan pendapat mereka tentang makna dari filsafat itu sendiri. Menurut Plato, filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. 

Sedangkan menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan).

Tujuan Mempelajari Filsafat untuk Kehidupan Sosial Kemasyarakatan

Dari penjelasan di atas dapat diinterpretasikan bahwa filsafat itu memiliki tujuan untuk mencari kebenaran, menjadikan akal memiliki daya nalar yang cakap, mumpuni, dan arif (bijaksana). 

Lebih lanjut mari kita telaah lagi, bagaimana peranan ilmu filsafat untuk mendongkrak nalar kritis khalayak, agar tidak mudah percaya dengan berita bohong atau hoax. 

Sama-sama kita ketahui bahwa, hoax (berita bohong) sangat merajalela penyebarannya. Isinya tidak memiliki kualitas, tidak memiliki etika penulisan akademis.

Hanya bersifat menduga-duga, yang pada akhirnya bisa menimbulkan kegaduhan dan pencemaran nama baik individu maupun institusi. 

Apakah bisa filsafat dapat membangun nalar kritis khalayak Indonesia? Apakah bisa khalayak di Indonesia dan dunia melawan hoax ? 

Dan bagaimana peranan nalar kritis yang dibentuk oleh filsafat, bisa membendung arus penyebaran berita bohong ? Untuk mengetahui hal tersebut, Yuk kita lanjutkan pada pembahasan.

Pembahasan 

Disclaimer sedikit, tulisan ini tidak memiliki unsur politis ataupun menyinggung untuk mencemari nama baik dari individu maupun institusi.

Ini hanya bersifat mengkritisi kekeliruan dalam logika berpikir yang akan saya jadikan contoh dalam tulisan ini. 

Jadi jangan terlalu baper, jika idola kamu yang nanti saya jadikan contoh dalam tulisan ini. Lanjut, dari pendahuluan di atas saya membuat tiga pertanyaan, yang ketiga-tiganya mempertanyakan peranan filsafat untuk melawan arus berita bohong. 

Saya akan memberikan analisis satu persatu terhadap tiga pertanyaan di atas. 

Pertama, Apakah Bisa Filsafat Dapat Membangun nalar kritis Khalayak Indonesia ?

Ini pertanyaan yang cukup menarik, sebenarnya seberapa kritis sih masyarakat Indonesia. Apakah sudah benar-benar cakap atau masih terlalu dangkal pemikirannya. 

Untuk itu kita harus perlu data yang pasti agar mampu menjawab pertanyaan di atas.  Mengutip dari (dw.com/id/), seorang pemimpin atau ketua dari yayasan Wahid Institute yaitu Yenny Wahid. 

Beliau mengemukakan pendapat bahwa, “Indonesia adalah masyarakat pengguna media sosial yang sangat besar. Untuk Facebook, menjadi pengguna keempat terbesar di dunia dan untuk Twitter, Indonesia menjadi pengguna kedua terbesar. 

Jadi masyarakat Indonesia sangat suka dengan media sosial. Tapi disisi lain, belum terbentuk berpikir kritis. Sehingga sangat mudah sekali menelan hoax dan fake news. 

Apalagi dengan adanya pemilu kemarin ini, yang membuat masyarakat semakin terpecah, ada jurang yang terbesar di tengah-tengah masyarakat.

Ini yang kita hadapi saat ini di Indonesia. Jadi pluralisme semakin terancam, karena dalam pemilu kemarin ada narasi yang cenderung membuat orang saling membenci, berdasarkan identitas politik. 

Ada polarisasi yang sangat tajam. Ini yang mengancam pluralisme, kalau dibiarkan saja. Itulah ancamannya, dan kalau dibiarkan saja bisa mengakibatkan perpecahan yang diiringi aksi-aksi kekerasan..?

Bisa meruncing seperti itu. Tetapi, saya sendiri cukup optimis bahwa masyarakat Indonesia cukup dewasa, sekalipun ada politisasi yang sangat keras, ada arus fake news yang begitu pesat, tapi jaringan sosial kita sebenarnya cukup kuat”

Kesimpulannya adalah, Ibu Yenny Wahid mengkritik khalayak di Indonesia bahwa  khalayak atau masyarakat masih belum kritis dalam memandang suatu persoalan. 

Terlebih lagi, persoalan-persoalan yang ada di Internet/media sosial. Akibatnya, berimbas pada kurangnya filterisasi informasi, sehingga hal ini rentan terkena hoax atau fake news. 

Namun beliau masih berharap penuh dan optimis, bahwa masyarakat Indonesia cukup dewasa dan memiliki jaringan sosial yang cukup kuat. 

Kedewasaan atau kematangan berpikir, hal inilah yang menimbulkan sikap berpikir kritis. Dan jaringan sosial yang kuat atau dapat dianalogikan sebagai sikap gotong royong.

Mampu memberikan efek yang signifikan untuk membendung arus informasi yang menyesatkan. Jadi apakah bisa membangun masyarakat yang kritis ? Tentu sangat bisa, dan bukan suatu hal yang tidak mungkin.

Kedua, Apakah bisa khalayak di Indonesia dan dunia melawan hoax ? 

Menjawab pertanyaan di atas, saya memiliki argumen fifty-fifty. Hal ini dikarenakan bahwa, dalam melawan hoax itu tergantung tindakan atau action masing-masing, ia lebih bersifat kepada tindakan individu tersebut. 

Khalayak di dunia maupun di Indonesia tetap bisa melawannya, namun terkadang tidak sadar sudah di serang oleh hoax. 

Untuk melawan ketidaksadaran tersebut, kita harus merujuk pada (kominfo.go.id) dalam melawan informasi bohong atau hoax. 

“Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax Septiaji Eko Nugroho menguraikan lima langkah sederhana yang bisa membantu dalam mengidentifikasi antara berita asli dan berita hoax, adalah sebagai berikut. 

1. Hati-hati dengan judul provokatif, apabila menjumpai berita dengan judul provokatif, sebaiknya Anda mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi. 

Kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya Anda sebagai pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang. 

2. Cermati alamat situs, menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. 

Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai. 

3. Periksa fakta, perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. 

Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti. 

Sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subjektif. 

4. Cek keaslian foto, cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag and drop ke kolom pencarian Google Images. 

Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan. 

5. Ikut serta grup diskusi anti-hoax, di Facebook terdapat sejumlah fanspage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.

Di Grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. 

Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.”       

Dapat disimpulkan bahwa hoax/berita bohong dapat dilawan, ketidaksadarannya pun juga bisa diberantas. Akan tetapi, sikap individu yang kritis saja yang mampu menahan laju penyebaran berita bohong ini.

Misalnya seperti menahan laju penyebaran berita bohong yang dilakukan oleh seorang dokter tentang tidak percaya dirinya terhadap pandemic covid-19. Kesadaran individu adalah yang utama, maka dari itu saya memiliki kesimpulan fifty-fifty.

Ketiga, Bagaimana peranan nalar kritis yang dibentuk oleh filsafat, bisa membendung arus penyebaran berita bohong ?

Sama-sama kita ketahui bahwa pendidikan paling dasar dalam berpikir kritis yaitu melalui filsafat. Filsafat mengajarkan kita untuk terjun dan masuk ke dalam sebuah persoalan secara lebih dalam. 

Melalui berpikir kritis, seseorang tidak mudah tergelincir ke dalam kekalutan, keraguan, hingga kepalsuan karena berpikir kritis adalah kunci untuk meraih sebuah kebenaran. 

Melalui berpikir kritis, kita mencari sebuah kebenaran yang bersifat ilmiah. Kebenaran ilmiah memiliki sifat dasar yaitu struktur yang rasional dan logis, isinya empiris dan dapat diterapkan guna kemaslahatan (pragmatis). 

Dengan mengedepankan hal-hal tersebut yang merupakan cabang pemikiran filsafat, kita mampu membendung arus penyebaran berita bohong. 

Karena kita mampu memfilter diri agar tidak mudah percaya, mampu mencari berita yang rasional serta logis, serta isi informasinya tidak menyesatkan. 

Kebanyakan hoax atau berita bohong, ia merupakan sebuah berita yang terlalu mengada-ngada. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, serta mengaitkan sesuatu hal dengan konspirasi. Seperti pandemi covid-19 ini. 

Dikaitkan dengan isu perang senjata biologis, elite global, perang perusahaan farmasi obat, serta adanya chip vaksinasi yang hal tersebut sudah dibantah tidak benar. 

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, carilah informasi-informasi dari situs yang jelas dan resmi, maka dari itu saya berharap teman-teman semua untuk mencari informasi hanya dari situs yang jelas yang dapat dipertanggungjawabkan kepada negara/pemerintah. 

Dengan pintar memilih informasi, berarti kita telah menerapkan nalar kritis yang baik, sehingga kita telah mampu membendung arus penyebaran berita bohong.

Penutup

Dengan sebuah ilmu yang bernama filsafat, sebuah nalar kritis seseorang dalam berpikir akan terbangun, dengan terbangunnya nalar kritis seseorang tidak akan mudah terkena berita bohong. 

Ia mampu meredam arus penyebaran hoax atau berita bohong. Membendung arus penyebarannya adalah tugas kolektif yang benar-benar berat.

Namun perlu diketahui juga bahwa dengan nalar kritis yang telah dimiliki dan di asah tadi maka akan semakin mudah pula kita untuk melawan hoax tersebut.

Maka dari itu untuk membentuk nalar kritis tersebut, kita harus sedini mungkin diperkenalkan dan di ajarkan sebuah ilmu filsafat.

Sumber Referensi :

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

https://www.dw.com/id/yenny-wahid-masyarakat-indonesia-suka-media-sosial-tapi-belum-terbentuk-kultur-berpikir-kritis/a-49361234, (diakses 3 Agustus 2021).

https://kominfo.go.id/content/detail/8949/ini-cara-mengatasi-berita-hoax-di-dunia-maya/0/sorotan_media, (diakses 3 Agustus 2021).

https://www.kompasiana.com/iismarifatul/60e6e6932b34aa074f5fb212/belajar-berpikir-kritis-melalui-kriteria-kebenaran-dalam-filsafat-guna-melawan-kekeliruan-nalar-di-era-4-0, (diakses 3 Agustus 2021).

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !