-->

Mengenal Trend Fastfood dalam Perspektif Teori Sosiologi

Memahami Trend Fastfood dalam Perspektif Teori Sosiologi
Mengenal Trend Fastfood dalam Perspektif Teori Sosiologi

Sosiologi Info – Pernah mendengar topik populer mengenai fastfood, apa sih itu ? Budaya baru ini telah memberikan berbagai perubahan di kehidupan sosial masyarakat. 

Simak bagaimana perspektif sosiologi memandang budaya baru tersebut dengan beberapa teori dibawah ini.

Penulis : Mahasiswa Prodi Sosiologi Universitas Riau | Oni Andriani Putri

Pandangan Sosiologi 

Indonesia sebagai negara multikultural, tidak dapat dipungkiri jika terdapat beragam kebudayaan. Keberagaman ini merupakan sebuah kekayaan sekaligus sebagai identitas negara. 

Mulai dari ras, suku, bahasa, pakaian, agama bahkan kulinernya. Salah satu yang menarik dari sudut pandang penulis yaitu kuliner. 

Baca Juga : Ada 10 Pengertian Globalisasi Menurut Para Ahli dan Kesimpulannya

Masakan khas Indonesia atau disebut dengan kuliner nusantara terkenal dengan berbagai macam rempahnya yang mampu menciptakan cita rasa yang khas. 

Bahkan tidak heran lagi jika masyarakat Indonesia ketika memasak dalam satu macam masakan saja bisa menggunakan 10 jenis rempah. 

Sejalan dengan perkembangan zaman, masakan-masakan dari luar negara pun mulai merasuk ke masyarakat Indonesia.

Ironisnya, kita sebagai masyarakat pun sangat mudah menerima. Orang-orang menyebutnya “fastfood” atau makanan cepat saji. Bagaimana sosiologi melihat hal ini ?

Memahami Trend Fastfood dalam Berbagai Teori Sosiologi

Melihat fenomena sosial yang sekarang telah menjadi trend dan kebiasaan dikalangan sebagian masyarakat. Fastfood telah menjadi budaya baru yang diserap oleh masyarakat. 

Perilaku sebagian orang pun mengalami perubahan dan penyesuaian dengan trend fastfood yang ada di Indonesia. 

Ada beberapa teori yang bisa kita gunakan untuk melihat fenomena sosial itu dari perspektif Sosiologi, yaitu sebagai berikut :

Teori Globalisasi Kehampaan Ritzer

Dalam kehidupan sehari-hari, disadari atau tidak, kita lebih sering bahkan selalu mengonsumsi kehampaan. Menurut George Ritzer dalam karyanya The Globalization of Nothings, konsumsi kehampaan berarti mengonsumsi produk-produk industri.

Global yang diproduksi secara massal dengan corak, bentuk, dan cita rasa yang sama, menegasikan kebutuhan khusus individu dan kelompok sosial dalam masyarakat.

Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yaitu mie instan yang kita konsumsi pada merek X dengan rasa Y.

Dan yang kita konsumsi di rumah tidak ada bedanya dengan cita rasa mie instan merek X rasa Y di tempat-tempat lain. 

Instruksi cara memasaknya pun sama dan memiliki jangka waktu tertentu produk itu dapat dikonsumsi. 

Produk yang sama baik proses dan cita rasanya memproduksi kehampaan, hampa akan proses dan cita rasa yang khusus, dan secara tidak langsung kita mengonsumsi kehampaan. 

Bandingkan apabila membeli atau mengonsumsi mie goreng khas abang-abang di tepian jalan atau buatan emak di rumah.

Dengan racikan sendiri yang sulit ditiru oleh orang lain, memiliki cita rasa yang khas, dan tentunya lebih humanis dari segi kesehatan.

Berbagai tempat-tempat yang mendukung konsumsi kehampaan ada di sekeliling kita seperti Alfamart, Indomaret, Mal-Mal Plaza, dan restoran cepat saji. 

Tak terkecuali fenomena BTS Meal yang menimbulkan antrean driver gojek yang sampai mengular, tak lain karena produksi kehampaan melalui bungkus yang didesain dengan warna dan corak tertentu.

Memang tak dapat dipungkiri, kita tak akan pernah lepas dari mengonsumsi kehampaan dalam kehidupan sehari-hari. 

Namun setidaknya menerapkan seperti apa yang disampaikan oleh Max Weber, harus menerapkan tindakan yang rasionalitas berorientasi nilai.

Dalam arti menggunakan atau memanfaatkan objek atau benda-benda berdasarkan nilai-nilai kebutuhan dan kelangsungan hidup dalam masyarakat.

Tentu dengan batasan dan aturan yang harus benar-benar di pegang teguh.

Teori Hiperrealitas oleh Baudrillard

Hiperrealitas merupakan sebuah kondisi dimana kepalsuan berbaur dengan kebenaran, fakta bersimpangsiur dengan rekayasa.

Tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Akhirnya menjadi  mustahil membedakan nyata daripada yang sekedar tontonan. 

Dalam kehidupan nyata masyarakat pemirsa reality show, kejadian nyata semakin mengambil ciri hiper-rill (hyperreal). 

Tak ada lagi realitas, yang ada hiperrealitas. Pembodohan atas realitas ini yang kemudian membentuk pola pikir manusia yang serba instan. 

Dan kebanyakan mereka mengkonsumsi bukan karena kebutuhan tetapi karena pengaruh model-model simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat berbeda. 

Sebagai contoh fastfood. Saat ini masyarakat Indonesia lebih menyukainya dari pada memasak sendiri dengan alasan.

Bahwa fastfood lebih highclass, bergizi tinggi, dan praktis. Padahal sebenarnya memasak sendiri dengan meracik bumbu asli indonesia.

Jauh lebih highclass dan gizinya pun sudah pasti bagus. Disituasi inilah mereka tidak sadar bahwa dirinya telah berhasil dibodohkan oleh realitas yang ada.

Nah itulah sekilas memahami fenomena sosial fastfood dalam perspektif atau sudut pandang sosiologi beserta teorinya.

Referensi :

https://scholar.unand.ac.id

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !