-->

Pelecehan Seksual dalam Perspektif Sosiologi : Teori dan Contohnya

Pelecehan Seksual dalam Perspektif Sosiologi : Teori dan Contohnya.
Pelecehan Seksual dalam Perspektif Sosiologi : Teori dan Contohnya

Sosiologi Info - Bagaimana perspektif sosiologi dalam memandang pelecehan seksual yang terjadi, baik dalam lingkungan kampus, maupun di lingkungan masyarakat. 

Berikut ulasan dan penjelasannya beserta teori, dan contoh fenomena sosialnya di kehidupan masyarakat. Yuk baca.

Penulis : Alumnus Sosiologi Universitas Riau (Unri), Sandewa Jopanda

Dugaan Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus

Beberapa hari belakang, di awal November dugaan kasus pelecehan seksual di Universitas Riau menarik atensi masyarakat. 

Bagaimanakah sosiologi memandang kasus ini? 

Salah satu ciri sosiologi sebagai ilmu pengetahuan adalah non etis, yang berarti sosiologi tidak mengkaji baik buruknya suatu permasalahan.

Melainkan untuk mencapai tujuan dengan menjelaskan suatu fakta. 

Perilaku pelecehan seksual bisa digolongkan sebagai kejahatan apabila kita merujuk pada pasal 294 ayat 2 dalam KUHP. 

Namun dalam sosiologi, perihal baik dan buruk tidak dapat dibuktikan. Perilaku yang menjurus pelecehan sebagaimana yang juga tertera dalam PERMENDIKBUD No 30 tahun 2021.

Bisa saja dibeberapa tempat lain baik lokal maupun global dianggap biasa saja, atau malah bisa dianggap lebih dari pelecehan. 

Disiplin ilmu hukum menjelaskan hal tersebut dalam istilah “locus delicti” dan “tempus delicti”. Artinya tindak pidana bergantung pada lokasi dan waktu tindakan tersebut terjadi. 

Mencuatnya kasus ini tiba-tiba mendengungkan suatu konsep relasi kuasa. Banyak sekali orang menyinggungnya dalam konferensi pers, atau tulisan berita. 

Apakah hanya itu konsep sosiologi yang mampu menjelaskan kasus tersebut?

Relasi Kuasa Michel Foucault 

Relasi kuasa merupakan konsep yang dicetuskan oleh Foucault. 

Relasi kuasa yang digambarkan baru-baru ini terlalu sempit, seolah-olah hanya menguraikan dasar pelecehan seksual. 

Relasi kuasa Foucault (Yani, 2016), menjelaskan antara hubungan sosial (relasi) dengan kekuasaan yang digenggam seseorang. 

Kekuasaan menurutnya memproduksi definisi suatu pengetahuan dan mengontrolnya. Sementara antara kekuasan dan relasi terjalin hubungan resiprokal. 

Dimana ada relasi, di dekatnya pasti ada kekuasaan, begitupun sebaliknya. 

Relasi kekuasaan menjabarkan kepada kita bahwa seseorang yang duduk dalam posisi berkuasa, menjalin relasi dengan banyak orang. 

Relasinya membesar sejalan dengan kekuasaan yang dipegangnya. Maka sifat kekuasaan itu disebutkan Foucault sebagai “omni present”. 

Kekuasaan tersebut hadir dalam relasi sosial yang ada. 

Oleh karena definisi dan kontrol pengetahuan dalam genggaman kekuasaan maka, dia mampu mengatur hubungan yang terjalin bahkan menormalisasinya sewaktu-waktu. 

Foucault menggunakan istilah “diciplinary power” untuk menjelaskan peristiwa diatas. 

Teori Konstruksi Sosial  (Peter L Berger dan Thomas Luckmann)

Keduanya sama-sama berfokus pada pandangan masyarakat yang mendominasi, sehingga suatu realitas sebenarnya bukan suatu yang mutlak. 

“Realitas merupakan hasil dari konstruksi sosial” begitulah inti dari pemikiran Berger dan Luckmann. 

Konstruksi sosial terjadi atas eksternalisasi nilai-nilai yang mengintervensi suatu kebebasan berpikir. Sehingga pikiran tidak lagi murni.  

Telaah Sosiologi dalam Kasus Pelecehan terhadap Mahasiswi HI UNRI

Kekuasaan pelaku dan ketidakberdayaan korban adalah unsur yang menjadi dasar kemungkinan terjadi peristiwa tersebut.

Terduga korban dalam hal ini mahasiswi memiliki ketergantungan melaksanakan bimbingan skripsi. 

Terduga pelaku (dosen) memiliki kuasa penuh, hal ini tentu bisa kita jumpai dalam pengaturan jadwal dan tempat pertemuan. 

Diluar kasus ini dosen pun memiliki sumber kekuasaan yang hampir tak terbatas pada mahasiswanya. Maka ini bukan barang baru. 

Ketidakberdayaan pelaku dimulai saat, terjadinya bimbingan proposal skripsi. Definisi dan kontrol pengetahuan itu dimanifestasikan dalam diskusi proposal itu. 

Kebutuhan akan respon yang disampaikan oleh dosen, bagi mahasiswa adalah gerbang pembuka pengetahuan.

Kekuasaan yang dimiliki oleh dosen membesar, sementara ketidakberdayaan korban makin melebar. 

Ketika pelecehan terjadi di beberapa tempat, serangan psikologis korban memunculkan ketakutan, dan kehilangan kepercayaan diri. 

Banyak yang tanpa perlawanan, bahkan kemudian trauma tersebut berlanjut hingga jarang kita temui korban yang speak up. 

Korban seringkali diserang balik seolah bersalah. Konstruksi budaya kita dihegemoni oleh “patriarki” sehingga lebih banyak pembelaan terhadap terduga pelaku.

Lantas, konstruksi ini merebak dan mengakar menjadi realitas sosial. 

Konstruksi sosial itu di suburkan melalui media sebagai garda terdepan menyebarkan opini. Masyarakat digiring berpihak pada opini yang diproduksi. 

Semakin kreatif dan intensif suatu opini diproduksi, maka semakin mudah konstruksi sosial diwujudkan. 

Dominasi pandangan yang ada di masyarakat akan membunuh suatu kebenaran, yang muncul adalah konstruksi sosial yang bertransformasi menjadi realitas. 

Ketika saling balas laporan di kepolisian terjadi, relasi kuasa muncul kembali. Bila menafsirkan pemikiran Foucault.

Terduga pelaku yang menjabat sebagai dekan fakultas tentu memiliki relasi di banyak sektor terkait. 

Misalnya media, kepolisian, hukum, dan sebagainya. Relasi tersebut mampu dinormalisasi, dengan kepentingan penguasa.

Relasi media menjadi hati-hati dalam mengabarkan berita menimbang hubungannya dengan sang pemilik kuasa (terduga pelaku). 

Begitupun dengan relasi kepolisian dan hukum yang bisa jadi memberikan penyidikan yang subjektif. Kemungkinan seperti itu dapat mempengaruhi vonis yang akan dikeluarkan.

Relasi kuasa bekerja dan berlaku dalam banyak kasus. Dalam dunia pendidikan, banyak sekali relasi kuasa yang mampu mengubah meredefinisi suatu pengetahuan. 

Persepsi yang muncul dari seorang pendidik akan mendominasi pikiran para relasinya. 

Tidak mengherankan bila dalam kasus pelecehan ini, konstruksi budaya (patriarki) menyebabkan tekanan berlebih pada korban. 

Sementara relasi kuasa dapat mempengaruhi dan mengintervensi hasil penyidikan. Ketika hasil keluar, media mengabarkan hal tersebut dan memenuhi angkasa pemikiran orang-orang. 

Teringat akan kata-kata Berger dan Luckman “realitas adalah hasil konstruksi sosial”, maka hegemoni yang ada membawa kita pada kesimpulan “korbanlah yang salah”. 

Demikianlah analisis sosiologi dalam kasus pelecehan seksual.  

Nah itulah sekilas penjelasan mengenai Pelecehan Seksual dalam Perspektif Sosiologi : Teori dan Contohnya. Semoga membantu!

Sumber Referensi :

Yani, Wa Ode Nurul. 2016. “Relasi Pengetahuan dan Kekuasaan dalam Formasi Diskursif Bio-Politik Michel Foucault: Sebuah Kajian Kritis Komunikasi Kesehatan Masyarakat. Jurnal Dialektika, 3(1). Hlm.1-14.

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !