Contoh Masyarakat Risiko Ulrich Beck Pada Perempuan
Berikut ini pembahasan tentang Contoh Masyarakat Risiko Ulrich Beck Pada Perempuan di Minangkabau.
Selanjutnya untuk mengawali pembahasan ini, sobat baca dengan saksama penjelasan tentang perceraian di bawah ini ya.
Sosiologi.info – Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah biasa terjadi dalam sebuah institusi keluarga.
Dalam konteks detradisionalisasi di nyatakan bahwa pertentangan kelas dan gender adalah bagian masalah besar pada kelas pekerja.
Antagonisme Gender
Antagonisme gender sebagai produk dari modernitas lanjut melahirkan pertentangan pada privat relationship dan menjadi everlasting discussion.
Pada umumnya pasca perceraian, perempuan mengalami resiko yang sangat tinggi dalam meneruskan kehidupan bersama anaknya.
Distribusi resiko semakin tinggi dialami oleh perempuan ketika ia tidak memiliki added value.
Apalagi, perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga dan tidak memiliki skill setelah bercerai.
Kemudian di samping itu, perempuan yang menjadi janda juga mengalami beban sosial yang berat karena harus memikul dua sektor sekaligus, yaitu sektor publik dan domestik.
Artinya, semakin sulit perempuan untuk bisa berselancar dari resiko yang terdetradisionalisasi oleh arus perubahan sosia.
Kemiskinan Perempuan di Dunia
Penelitian J. Porter dan C. Sweetman menunjukkan bahwa 84% dari jumlah kemiskinan di dunia adalah perempuan yang menjadi kepala keluarga tunggal atau janda.
Perempuan yang ikut mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, atau yang menjadi janda akan lebih miskin di bandingkan laki-laki dari kategori yang sama.
Hal itu karena potensi perempuan dalam membuat pendapatan sendiri jauh lebih rendah.
Menurut penelitian tersebut, kemiskinan yang di alami perempuan di Afrika adalah karena tidak di milikinya akses dalam pengelolaan tanah.
Suatu yang tidak dapat di pungkiri bahwa masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan Matrilineal, artinya garis keturunan di ambil dari ibu.
Matrilineal tidak hanya berarti garis keturunan saja, namun di dalamnya juga tersirat betapa istimewanya kedudukan perempuan di Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau seorang perempuan di anggap sebagai simbol keagungan sistem matrilineal.
Dalam setiap aspek kehidupan, ada beberapa posisi srategis yang di miliki oleh perempuan di Minangkabau, sehingga dalam keadaan bagaimanapun, hak-haknya tetap terlindungi.
Hak yang di miliki oleh perempuan terfasilitasi dengan hukum adat dan berlaku tidak hanya pada perempuan sebelum menikah, setelah menikah, bahkan juga ketika pasca perceraian.
Atas keistimewaan yang di miliki oleh seorang perempuan di Minangkabau, kita bisa berasumsi bahwa ketika perempuan Minangkabau menjadi janda.
(entah itu karena cerai mati atau cerai hidup), ia tetap akan bisa meneruskan hidup dengan baik tanpa takut terkena jerat kemiskinan.
Memiliki Posisi Strategis
Pertama, perempuan memiliki posisi strategis sebagai penerus suku di Minangkabau. Suku di turunkan melalui ibu.
Ada 4 suku induk yang ada di Minangkabau yaitu; koto, piliang, bodi, dan caniago.
Ketika perempuan minang menikah dan melahirkan anak,kemudian anak akan meneruskan suku yang melekat pada dirinya.
Artinya, perempuan minangkabau juga menjasi sumbangsih pertumbuhan suku bangsa minangkabau itu sendiri.
Punya Otoritas Kharismatis
Kedua, memiliki otoritas kharismatis sebagai bundo kanduang. Pada dasarnya setiap perempuan Minangkabau yang telah menikah langsung mendapatkan status sebagai bundo kanduang.
Dalam adat Minangkabau, perempuan disebut dengan istilah bundo kanduang untuk menghormati, meninggikan, dan menghargai perempuan.
Sehubungan dengan musyawarah mufakat sebagai sarana pengambilan keputusan tertinggi dalam masyarakat adat minang, bundo kanduang memiliki hak untuk bersuara dalam ranah politik.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari berbagai perangkat nagari, bundo kanduang merupakan satu-satunya perangkat nagari yang merupakan perempuan.
Kewenangan Harta Pusaka
Ketiga, Perempuan memiliki kewenangan dalam mengolah harta pusaka.
Perempuan minangkabau memiliki hak dalam harta pusaka agar bisa memberikan kelangsungan hidup kepada anak cucunya kelak.
Harta pusaka yang di dapat oleh perempuan di antaranya berupa rumah gadang, sawah atau lahan pertanian, dan tanah. Artinya, perempuan mendapat jaminan sosial dari konteks masyarakat adat.
Jikalau seandainya perempuan telah bercerai dari suaminya dan tidak memiliki keinginan untuk menikah lagi (karena berbagai faktor).
Selanjutnya terlepas dari pembagian harta bersama, perempuan tetap bisa terjamin hidupnya dengan adanya hak lebih atas pengolahan harta pusaka.
Realitas Perempuan
Namun pada kenyataannya, banyak realitas menunjukkan bahwa masih banyak janda miskin di Minangkabau sendiri.
Pada tahun 2017, terdapat 1.802 kasus perceraian yang di tangani di pengadilan kota Padang. Artinya, terdapat 1.802 janda yang hadir dalam setahun (jawapos.com).
Sementara itu, data BPS Sumatera Barat menyebutkan bahwa Sumatera Barat memiliki indeks kemiskinan 6,42 persen.
Jumlah penduduk miskin di Sumbar sejak September 2016 terus mengalami penurunan.
Bahkan pada Maret 2019 angka kemiskinan di Sumbar sempat menempati urutan sembilan terendah di tanah air.
Artinya, pasca perceraian bisa menjadi salah satu penyebab dari tingginya angka kemiskinan di Sumatera Barat.
Walau secara kultural perempuan minangkabau memiliki otoritas kharismatis serta akses yang cukup baik terhadap harta pusaka.
Selanjutnya, ternyata dukungan kultural tidak cukup mampu untuk mengatasi perempuan minangkabau dari kemiskinan.
Artinya, realitas ini menarik untuk di bahas karena merupakan sebuah masalah yang cukup baik untuk di pertanyakan.
Berdasarkan latar belakang di atas, Tulisan ini memiliki tujuan untuk menganalisis kasus janda miskin di Minangkabau jika di kontekstualisasikan kepada masyarakat risiko Ulrich Beck.
Akhirnya itulah pembahasan tentang Contoh Masyarakat Risiko Ulrich Beck Pada Perempuan di Minangkabau.
Penulis : Indah Sari Rahmaini