-->

Hook Up Culture and Friend With Benefit Era Digital

Hook Up Culture and Friend With Benefit Era Digital
Hook Up Culture and Friend With Benefit Era Digital

Hook up atau yang biasa disebut dengan berhubungan s*ksual dengan orang asing telah mendapatkan banyak perhatian di media massa akhir-akhir ini.

Namun tidak semua mahasiswa atau pria melakukan hubungan s*ks. 

Sebagian besar perhatian datang dari penerbitan buku-buku baru-baru ini yang meneliti tren ini, seperti Unhooked oleh Laura Sessions Stepp dan Hooking Up oleh Amber Madison. 

Ada banyak mahasiswa yang memilih untuk tidak melakukan aktivitas s*ksual sama sekali dan banyak pula yang melakukannya dalam parameter hubungan yang berkomitmen. 

Namun ada beberapa orang yang memilih untuk “Friend With Benefit” daripada berkencan secara eksklusif, dan alasannya berbeda-beda. 

Bagi banyak orang, ini sudah waktunya; mereka merasa bahwa kuliah adalah tentang fokus pada persiapan karir, bersenang-senang dengan teman, dan lain sebagainya. 

Waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan suatu hubungan adalah sesuatu yang banyak mahasiswa katakan tidak mereka miliki.

Hal ini tentu menjadi realitas yang sering kita lihat di Negara Barat. 

Berhubungan s*ksual dengan orang asing tau budaya hook up terlihat tidak lazim digunakan oleh masyarakat negara Asia, khususnya Indonesia. 

Namun, sejak era digital dan globalisasi hal ini sebagian besar telah diterima oleh kaum muda khususnya untuk daerah metro seperti Jakarta, Bali, dan lainnya. 

Selain faktor waktu, kita hidup dalam budaya yang mendukung kepuasan instan dan memberi tahu kita bahwa jika kita tidak menyukai apa yang kita miliki, kita selalu dapat meningkatkannya. 

Bagi sebagian orang, berkencan berarti Anda tidak perlu bertanya-tanya apa yang mungkin Anda lewatkan jika Anda “terjebak” dalam hubungan yang berkomitmen. 

Ada juga yang berargumentasi bahwa mereka yang pacaran adalah kuno karena hubungan sementara mereka tidak memiliki keintiman emosional dalam suatu hubungan.

Perbedaan penafisran budaya hook up terlihat berbeda antara laki-laki dan perempuan. 

Laki-laki kebanyakan bingung karena pada masa orang tua mereka, ayah mereka tahu persis apa peran mereka ketika berkencan dengan seorang wanita — mengajaknya kencan, menjemputnya, membayar makan malam, mengantarnya pulang. 

Sekarang, aturan tersebut sudah tidak berlaku lagi, namun belum ada yang memberi tahu mereka apa aturan baru tersebut. Wanita juga bingung, tapi dengan cara yang berbeda. 

Meskipun perempuan hari ini didorong juga untuk bernisiatif untuk mengajak berkencan dan tidak takut untuk menelepon atau mengajak seorang pria berkencan.

Banyak dari mereka yang takut untuk meminta apa yang mereka inginkan karena hal itu akan membuat mereka tampak membutuhkan. 

Mereka diberi tahu bahwa wanita masa kini itu kuat dan tidak membutuhkan pria, dan mereka menganggap perasaan mereka tidak penting dan malah akan membuat mereka tampak lemah. 

Selain itu, kedua jenis kelamin dikelilingi oleh perhatian media terhadap budaya hookup, dan banyak dari mereka mungkin tidak ingin terlibat di dalamnya dan berharap mereka mengenal orang lain yang merasakan hal yang sama. 

Ketika kita merasa bahwa semua teman kita berperilaku dengan cara tertentu, sulit untuk bersuara dan berbeda pendapat dan berkata, “Saya ingin menjalin hubungan. 

Realitas sosial ini tentu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam komunitas masyarakat.

Pembiaran realitas ini atau menormalisasi keadaan ini akan menciptakan kondisi anomie sehingga khususnya norma dan nilai masyarakat Indonesia tidak lagi dipercaya mampu sebagai alat kontrol sosial. 

Relasi hubungan lawan jenis seperti ini juga akan memicu banyak perbudakan s*ksual dan lain sebagainya.

Penulis : Indah Sari Rahmaini

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !