-->

Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory), Contohnya

Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory) dan Contohnya.
Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory), Contohnya

Sosiologi Info - Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory) dan Contohnya. Seiring meningkatnya akses media sosial.

Pada masyarakat menjembatani diskusi publik dalam jangkauan dan frekuensi yang lebih luas dikalangan masyarakat. 

Akses komunikasi yang yang terbuka memberikan perhatian publik yang luas terhadap suatu topik atau isu sosial lainya, imbas dari jangkauan akses sosial media yang tidak terbatas. 

Pada isu-isu sensitif yang bersifat tabu atau minoritas, masyarakat atau individu dalam lingkungan sosial cenderung ragu.

Atau tidak memiliki keberanian mengutarakan pendapat yang bersifat oposisi dalam diskusi nyata di lingkungan sosial. 


Lebih lanjut dengan berkembangnya zaman, media sosial menjadi suatu fasilitator yang digemari masyarakat. Tak hanya sebagai wadah untuk memperoleh informasi.

Namun juga digunakan sebagai wadah untuk berdiskusi. Seperti yang kita ketahui dalam media sosial setiap orang mempunyai kebebasan dalam mengutarakan pendapatnya.

Tanpa harus merasa takut pendapatnya berbeda dengan orang lain. Hal ini tentu bertentangan dengan teori spiral of silence. 

Nah, pada hal ini kita akan membahas salah satu teori efek media massa dalam kajian sosiologi komunikasi.

Yakni  teori spiral keheningan (spiral of silence theory) yang ternyata cocok untuk menggambarkan 
kondisi tanah air saat ini. Yuk Baca. 

Mengenal Apa Itu Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory)

Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory) atau teori spiral keheningan berkaitan dengan pertanyaan mengenai bagaimana terbentukya pendapat umum. 

Dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle-Neuman, sosiolog Jerman pada tahun 1974, teori ini menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut.

Terletak dalam suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antarpribadi.

Dan persepsi individu atas pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam masyarakat. 

Teori ini mendasarkan asumsi pada pemikiran sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan oleh orang lain. 

Berangkat dari asumsi tersebut Spiral of Silence selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi.

Dalam arti kesendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh  karenanya, orang akan mengamati lingkungannya.

Untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan  dukungan, dan mana yang tidak dominan atau popular. 

Jika orang merasakan bahwa pandangannya termasuk di antara yang tidak  dominan atau tidak popular.

Maka ia cenderung kurang berani mengekspresikannya, karena adannya ketakutan akan isolasi tersebut. 

Noelle-Neuman mengatakan, ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap pendapat mayoritas.

Pengungkapan pendapat pribadi, kecenderungan dalam isi media, dan pendapat para jurnalis. Dalam kondisi tertentu, media massa tampak membentuk persepsi mengenai pendapat yang dominan.

Dan karenanya mempengaruhi pendapat individu melalui cara-cara yang dijelaskan oleh teori Spiral of Silence ini.

Pada akhirnya, teori spiral keheningan lebih berfokus pada suatu pandangan seseorang yang telah diakui dan ditonjolkan oleh media. 

Pandangan dominan dari kelompok mayoritas yang ditonjolkan oleh media semakin menguat dan berkembang menjadi opini publik. 

Sedangkan pandangan yang berbeda menjadi semakin bungkam dan kelompok minoritas semakin tidak berkeinginan untuk mengutarakan pendapatnya sehingga terbentuklah spiral keheningan.

Premis pokok Teori Spiral Keheningan bahwa ketika seseorang mempunyai pandangan yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan yang dominan dikemukakan media.

Sementara pandangan orang-orang di sekitarnya juga sama dengan media, maka ia cenderung bersikap diam atau mengikuti pendapat dominan yang dikemukakan media. 

“Spiral keheningan disebabkan oleh adanya sebuah rasa takut akan pengasingan”

Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory), Contohnya

Teori ini dinamakan spiral karena bentuknya seperti tornado di mana di bagian atas besar dan semakin ke bawah semakin mengecil.

Teori Spiral Keheningan (Spiral Of Silence Theory) Yang Ternyata Cocok Untuk Menggambarkan Kondisi Tanah Air Saat Ini

Kita dapat memutar kembali waktu kita terhadap kasus ombibus law pada tahun 2020 atau terhadap pro dan kontranya vaksin di tahun 2021 ini. 

Banyak sekali tanggapan terkait hal ini. Dalam tagar #TolakOmnibusLaw atau #HentikanPaksaVaksin yang beredar pada akun media sosial twitter. 

Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa media menjadi pendorong penting dalam menentukan bagaimana posisi kita dalam spektrum yang membuat kita percaya diri dalam berpendapat. 

Atau sebaliknya, dalam spektrum yang membuat kita merasa terisolasi dan merasa takut atas penghakiman orang lain. 

Dalam hal inilah “pemahaman seseorang yang mana merupakan opini publik mayoritas dan minoritas akan menjadi penting.”

Adapun contoh konkret lainnya ketika ada kolom komentar yang dominan mengkritik atau menghina seseorang pejabat publik pada sebuah postingan.

Maka mereka ingin  menangkal terhadap pendapat yang mengkritik dan yang menghina (intinya yang menjadi kontra dari pejabat tersebut) di kolom komentar.

Mereka yang (ingin menangkal pendapat umum di kolom komentar tersebut) merasa ditekan dan pada akhirnya dia menyembunyikan pendapatnya sendiri. 

Mungkin ini alasannya kita lebih sering melihat postingan yang bertendensi memihak kepada apa yang sudah dianggap benar, dan ini termasuk kita yang menuntup diri dari pendapat orang lain.

Adapun yang berpendapat aplikasi tik tok adalah cringe alias jijik atau alay tapi masih pakai sosial media lain mereka hipokrit alias berpura-pura, semua sosial media sama saja. 

Tik tok itu bisa dibilang kelompok besar menilai suatu kelompok dari beberapa anggota itu salah, contohnya ada sebuah kasus yang mungkin tersebar di tik tok.

Karena ketika kita mencoba untuk mengungkapkan opini terhadap kasus tersebut balasannya kebanyakan kalau saya atau kamu bukan pengguna tik tok. 

Padahal sepertinya setiap sosial media besar ada yang alay, ada yang edukatif, ada yang baik, dan ada yang buruk juga. 

Adapun contoh kecilnya adalah ketika kita berdiskusi soal di kelas, kita dapat jawaban B tapi semua teman pada menjawab C.

Dan akhirnya akan mengikuti C juga terlepas jawaban itu benar atau salah. Ataupun dalam perkumpulan otang-orang yang kapasitas ilmunya lebih dari kita.

Juga menjadi pertimbangan untuk berpendapat, takut salah di depan orang yang lebih paham. Jadi nanti kesannya dibilang sok atau atau hal lainnya.

Apa teman-teman juga merasakan sedikit ketakutan ketika ingin mengemukakan pendapat? Karena kita selalu berpikir bahwa sebuah kritik dari orang lain.

Merupakan sebuah ketakutan yang sangat besar untuk individu agar tetap diam. Ketika pendapat tersebut bukan merupakan yang dianut oleh mayoritas.

Nah, bagaimana? Tanpa kita sadari di dalam masyarakat kita hal tersebut sering terjadi. Jadi itulah Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory) dan Contohnya. Jangan lupa ya untuk membaca dulu, baru berkomentar. 

Penulis Artikel : 

Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Padang (UNP) Suci Kurnia Putri

Sumber Referensi:

Noelle-Neumann, E.  (1974). The spiral of silence: A theory of public opinion. Journal of  Communication, 24 (2), h.43-51. 

Noelle-Neumann, E.  (1977). Turbulences in the climate of opinion: Methodological applications of the spiral of silence theory. Public Opinion Quarterly, 41(2), h.143-158. 

Noelle-Neumann, E. (1979). Public opinion and the classical tradition: A Reevaluation. Public Opinion Quarterly, 43(2), h.143-156 

Ikuti Sosiologi Info di Google News, klik disini !